SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Selasa, 08 Agustus 2023

BAJI*GAN YANG TOL*L

Yang sedang hangat dibicarakan baji*gan yang tol*l.

Banyak sekali kata-kata yang sudah kita tidak gunakan dalam keseharian kita. Kita tidak menggunakan kata anak cacat, kita gunakan kata difabel. Kita tidak mengatakan anak autis, kita mengatakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Kita tidak menyebut orang yang membantu atau bekerja dirumah kita sebagai jongos, babu, kita menyebut mereka pegawai atau ART.

Dalam peradaban ini, nenek moyang kita dulu hidup di dalam gua, kemudian ketika mereka keluar, semua orang yang dilihatnya di luar itu dianggapnya sebagai lawan. Peradaban ini bergerak terus sampai kemudian kita mengenal bahasa, kita sekolah, kita mulai hidup menetap dan kemudian kita membuat perencanaan, kita mengenal Tuhan dan akhirnya agama muncul ditengah peradaban, mengajarkan kita kata-kata yg halus lembut dan indah.

Guru-guru PAUD susah payah mendidik anak-anak dengan diksi-diksi yg positif, jangan berkata kotor, jangan berkata kasar, jangan mengolok-olok, dengan harapan Indonesia kedepan memiliki generasi yang lebih beradab dalam bertutur kata di ruang-ruang publik.

Soal hak, semua orang memang punya hak masing-masing. Selama masih berada di tempatnya, hak menjadi sesuatu yang aman bagi dirinya maupun orang lain, bedakan antara hak anda di ruang publik, dan hak anda di ruang private.

Contohnya merokok. Saya yakin itu adalah hak. Tidak seorangpun kecuali keluarga dan orang-orang yang bergantung hidupnya pada perokok boleh melarang orang untuk merokok. Tetapi ketika merokok di tempat umum, hak itu jadi tidak aman untuk orang lain. “Tolong ya mas, merokoknya di ruang merokok, atau menggunakan helm full face saja biar asapnya tidak terhirup oleh saya“. Gimana kalau perokok menjawab, “Ya situ saja jangan hirup asap saya kalau memang tidak suka bau asap“. Kira-kira anda mau langsung mengajak adu hantam tidak?

Contoh lain, memainkan musik adalah hak. Tetapi ketika bertetangga, genjrang-genjreng di jam dua pagi di depan rumah orang, kira-kira akan membuat tidur orang terganggu tidak? Gimana kalau ketika ditegur si penggitar menjawab “Tolong ya Bu, kalau memang tidak suka dengan suara gitar saya, ibu jangan dengerin suaranya, gitar- gitar saya kok ibu yang repot“. Kira-kira si ibu akan melempar sandal atau pot bunga tidak? Kalau bermainnya di dalam kamarnya sendiri, di studio musik kedap suara, saya kira volume sebesar apapun tidak akan jadi masalah. Minimal tidak jadi masalah untuk orang lain.

Begitu juga dengan memaki, jika ingin dikatakan hak, ya terserah anda mau memaki sepuasnya di kamar anda, di puncak gunung atau di tengah laut sekalipun, tidak ada yg melarang. Tapi ketika makian itu anda bawa di ruang publik, didengar banyak orang, anak-anak remaja dan orang tua, maka akan menjadi tidak aman bagi orang lain, orang lain juga mempunyai hak untuk mengoreksi nya. Lagi-lagi Ini bukan perkara suka dan tidak suka.

Setelah semua jejak peradaban yang bangsa ini telah lalui untuk jadi bangsa yg lebih beradab dalam bertutur kata, lalu tiba-tiba muncul seseorang yang seolah-olah baru keluar dari goa, tidak beragama, lantas bebas ngomong seenaknya jidat nya, menyerang orang lain dengan diksi-diksi purba yg sudah lama kita tinggalkan : baji*gan, tol*l, du*gu, dst. Lalu kita diam, menganggap nya biasa saja sebagai diksi sehari-hari? Permakluman semacam ini akan sangat berbahaya dan merusak keadaban dalam bertutur kata yang dengan susah payah telah kita bangun, bahkan sejak anak kita mulai pandai berbicara.

Minggu, 28 Mei 2023

WATAK DASAR ORANG MEKKAH

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Mekkah mempraktekkan banyak sekali prilaku buruk. Namun, seburuk-buruknya mereka, tetap saja ada sisi-sisi positif yang dimiliki.  Mereka, misalnya, memiliki watak dasar dermawan, menjunjung persahabatan, lapang dada, berani, memiliki harga diri sehingga siap menanggung resiko dan memikul tanggung jawab, membela kaum lemah, mudah memaafkan dalam keadaan mampu membalas, tabah, dan terbuka.

Watak berani menanggung resiko menyebabkan masyarakat Mekkah tidak mengenal kemunafikan. Di kota ini tidak ada orang munafik. Orang dengan sifat buruk yang satu ini baru dikenal setelah kaum muslimin hijrah ke Madinah. 

Karena wataknya ini pula, orang-orang Mekkah tidak terbiasa berpura-pura. Itulah sebabnya kenapa Ammar Ibn Yasir dan keluarganya tetap kokoh mempertahankan keyakinan mereka terhadap kebenaran Islam sekalipun mereka, untuk itu, harus menanggung siksaan fisik yang sangat berat. Sikap yang sama ditunjukkan pula oleh Bilal dan sejumlah orang muslim generasi pertama lainnya. Padahal, dalam kondisi menanggung derita seperti itu, Allah mengizinkan mereka untuk berpura-pura kembali kepada agama lama selama itu tidak dibarengi dengan pembenaran hati.

Orang-orang Mekkah pada dasarnya juga sangat teguh memegang janji. Mereka rela mengorbankan apapun, termasuk mengorbankan nyawa, agar janjinya terpenuhi, apalagi jika janji itu adalah ijarah, yaitu janji memberi jaminan keamanan kepada seseorang selama yang bersangkutan berada di Mekkah. Karena itulah mereka sangat menyesali tindakan Banu Bakr, sekutu mereka, yang menyerang Banu Khuza'ah, sekutu Nabi (saw). Padahal, ketika itu, orang-orang Mekkah dan sekutunya terikat dalam perjanjian Hudaibiyyah dengan Nabi (saw) dan sekutunya, yaitu perjanjian gencatan senjata dan perdamaian. 

Karena pelanggaran Banu Bakr itu, Abu Sufyan, pemimpin Mekkah, sampai datang sendiri ke Madinah membawa mandat penuh untuk memperpanjang perjanjian. Nabi (saw) dan para sahabat menyambut kehadiran Aba Sufyan dengan "dingin" sehingga ia merasa begitu terhina. Namun, pemimpin orang-orang musyrik itu tidak dapat berbuat apa-apa selain menyesali, lalu menerima kenyataan bahwa perjanjian Hudaibiyyah telah batal dan tidak dapat lagi diperpanjang. 

Bandingkanlah sikap Abu Sufyan, pemimpin orang-orang musyrik Mekkah itu, dengan sikap orang-orang Yahudi yang tinggal di dalam atau di sekitar kota Madinah. Melanggar dan mengkhianati perjanjian-perjanjian yang mereka buat sendiri adalah sesuatu yang "sangat biasa."

Keharusan memegang teguh janji, dengan siapapun perjanjian itu dilakukan, dan tidak menjadi pihak yang pertama membatalkannya adalah ajaran Islam!

Berkenaan dengan watak teguh memegang janji ini, ada sebuah kisah menarik yang terjadi di pertempuran Badar. Diriwayatkan bahwa, dalam pertempuran monumental itu, Bilal berusaha keras membunuh musuhnya, Umayyah Ibn Khalaf. Umayyah adalah mantan majikan yang pernah menyiksanya saat di Mekkah dahulu. "Tidak usah aku selamat jika Umayyah selamat!," demikian tekad Bilal. 

Saat Bilal, di tengah kecamuk perang, melihat Umayyah, ia pun segera mengejarnya, dibantu oleh sejumlah pemuda Anshar. Menyadari bahwa dirinya dalam bahaya, Umayyah lari menghindar. Kejar mengejar itu disaksikan oleh Abdul Rahman Ibn 'Auf, salah seorang sahabat Nabi saw. yang, di masa lalu, pernah berjanji saling membela dengan Umayyah Ibn Khalaf. 

Ingat dengan janjinya itu, 'Abdul Rahman segera berlari. Ia bermaksud melindungi Umayyah. Ketika Umayyah terjatuh karena tidak kuat berlari, 'Abdul Rahman menjatuhkan diri ke atas tubuhnya, melindungi tubuh itu dari tebasan pedang Bilal dan sejumlah pemuda Anshar itu. Namun, para pengejar Umayyah berhasil menikam tubuhnya dari bawah. Umayyah tewas dan 'Abdul Rahman pun terluka.

'Abdul Rahman Ibn 'Auf tidak bermaksud membela rekannya dalam kebatilan. Ia hanya ingin memenuhi janjinya dahulu. Jika Umayyah selamat, ia masih dapat menangkap dan membawanya ke hadapan Nabi (saw). Bilal pun tidak bersalah karena, saat itu, pertempuran sedang berkecamuk dan tidak ada larangan dari Nabi (saw) untuk membunuhnya.

--------

Membaca Ulang Sirah Nabi saw. Tentang Watak Dasar Orang Mekkah