SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Sabtu, 18 Agustus 2012

IBRAH DI 7/4/2010 ! ! MAHA BENAR ALLAH DG SEGALA FIRMAN NYA. !

ini adalah catatan yang saya ambil dari facebook saya  Ndra Gan, catatan ini saya buat pada 7 April 2010 pukul 7:00 , beberapa jam setalah gempa hebat melanda Nangroe Aceh Darusallam.
semoga dapat menjadi Ibrah bagi kita semua.

GEMPA ACEH tgl 7 bulan 4, 2010 ! !,Tanpa ada maksud untuk sekedar menco2k'an htung2'an hari dn tgl,ndra pastikan ini bukan sebuah kesengajaan! !. ,akn tetapi ketika pagi td ndra buka alqur'an,kmudian ktika membuka lembaran nya, dn lembaran terbuka tepat pada SURAH ke-7(AL-A'RAF), dan entah kenapa mata ndra langsung tertuju kpda suatu ayat di surah trsebut yg benar2 membuat merinding. !tepat nya AYAT KE-4 dari surah tersebut! !
Ne ayat nya
"BETAPA BANYAK NEGERI YANG TELAH KAMI BINASAKAN, MAKA DATANGLAH SIKSAAN KAMI(MENIMPA PENDUDUKNYA)NYA DI WAKTU MEREKA BERADA DI MALAM HARI, ATAU DI WAKTU MEREKA BERISTIRAHAT DI TENGAH HARI.(QS 7:4). !
Yg justru membuat ndra kaget lg adalah bhwa ndra baru sadar bahwa SURAH KE-7 AYAT 4 tersebut bertepatan dg hari ini TANGGAL 7 BULAN 4. ! !
GEMPA MELANDA NAD(NANGROE ACEH DARUSALAM 7,2 SR) !WALLAHU ALAM !
Smoga kt bs mengambil ibrah dari ini semua. !!

Bantuan putra jin kepada Rasulullah

Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW menaiki Gunung Abi Qubais lalu berseru dg suara keras, "Katakan lah, tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasul Allah".
Mendengar seruan itu orang-orang kafir berkumpul di Daru Nadwah, lalu mengadakan musyawarah.
"Muhammad berbuat begitu sebenar nya karena menghendaki harta. Namun orang-orang tidak menghiraukannya, Bahkan menganggap ia adalah seorang tukang sihir pendusta, " timpal tokoh kafir lain nya, kemudian dia memandang kepada Al-Walid dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Al-Walid?"
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa dalam masalah ini. Aku tidak punya pendapat," jawab Al-walid.
Mendengar jawaban seperti itu orang-orang menuduh baha Al-Walid telah berpaling. Al-Walid jadi marah dan berkata,"Berilah aku kelonggaran selama 3 hari".
Setelah berkata begitu dia pulang ke rumahnya,dan langsung melakukan penyembahan terhadap dua patung kepunyaan nya yg terbuat dari emas danperak, serta berhiaskan permata mutiara. Selama 3 hari 3 malam Al-Walid menyembah patung itu, sambil bertirakat tidak makan dan minum.
Pada hari ketiga, kepada kedua patung itu Al-Walid memohong dg penuh kesungguhan, "Dengan berkat penyembahanku kepada kalian berdua selama 3 hari, sudilah kalian berbicara dan memberitahu kami mengenai urusan Muhammad"
Setan lalu masuk ke dalam mulut berhala itu dan berkata, "Sesungguh nya Muhammad bukanlah seorang Nabi. Maka kuperingatkan, janganlah sekali-kali kalian mempercayai perkataan nya".
Al-Walid merasa gembira dan segera ke luar untuk memberitahu orang-orang kafir mengenai hal tersebut.
Hari berikut nya orang-orang kafir itu berkumpul lagi di suatu tempat, dan meletakan sebuah berhala yang bernama Hubal. Mereka pun memakaikan baju pada patung tersebut dan kemudian bersujud menyembahnya. Setelah itu, mereka memanggil Nabi SAW.
Waktu Nabi SAW datang bersama Abdullah bin Mas'ud, masuklah setan yg bernama Masfar ke dalam perut berhala, lalu mencaci maki Nabi. Melihat peristiwa itu Abdullah bin Mas'ud kebingungan.
"ya Rasulullah, mengapa patung tersebut dapat berkata seperti itu?" tanya Abdullah.
"Hai Abdullah, jangan takut kepada ucapan patung ini, karena dia adalah setan," jawab Rasulullah SAW.
Kemudian pergilah Nabi meninggalkan tempat itu. Ditengah jalan beliau berjumpa dg seseorang pengendara kuda berpakaian hijau. Melihat Nabi, si penunggang kuda langsung turun lalu memberi salam.
"siapakah engkau, hai pengendara kuda? Salamu kepadaku telah menarik hatiku," kata Nabi setelah menjawab salamnya.
"aku adalah seorang anak jin dan telah masuk islam sejak zaman Nabi Nuh AS. Beberapa waktu yg lalu aku pergi dari kampungku, dan saat tiba kembali di rumah kudapati isteriku sedang menangis karena si Masfar telah mencaci mu ya Rasul. Mendengar perkataan itu, aku langsung pergi lagi untuk mengejar si Masfar. Dan setelah berhasil ku temukan, kubunuh dia di antara shafa dan Marwah. Inilah darah nya melekat pada pedangku, dan kepalanya di dalam kantong tempat rumput. Adapun badannya tergeletak di antara Shafa dan Marwah, bentuknya seperti anjing yg terputus kepalanya."
Mendengar kabar tersebut, maka gembiralah Rasulullah dan mendoakan kebaikan bagi putra jin itu.
"siapakah namamu?" tanya Nabi kemudian.
"Namaku Muhayyir bin Abhar dan tempat tinggalku di Gunung Thur Sina," jawab putra jin itu.

silaturahim itu mengunjungi BUKAN dikunjungi.

idul fitri sudah di depan mata, takbir kemenangan akan dikumandangkan. saling mengunjungi sanak keluarga dan teman-teman dekat, tetangga di hari raya idul fitri sudah menjadi "adat" kebiasaan Muslim di Indonesia. berbagai panganan, Kue, ketupat, Opor dll, disediakan bagai para jamuan. sanak keluarga jauh dan dekat akan saling bermaaf-maaf an. yang jauh pulang kampung (Red:mudik). yang dekat akan saling berkunjung.

rasa senang dan haru menjadi satu di 1 syawal. Tali silaturahim yang sudah lama diputuskan oleh jarak, atau tidak bertegur sapa dikarenakan pertengkaran kecil, saling sindir, dan tersalahnya ucapan seolah mencair di hari raya. senyum sumringah, saling sapa, bersalaman, bermaaf an dan berkumpul tertawa bersama adalah pemandangan yang akan kita lihat di 1 syawal.

Lalu bagaimana dengan fenomena silaturahim yang hanya dilakukan di bulan Ramadan dan Syawal? Di bulan-bulan ini, memang banyak orang yang menjadikannya sebagai momentum menyambung kembali tali persaudaraan yang pernah terputus. Namun, apakah silaturahim hanya dilaksanakan pada kedua bulan tersebut?

Tentu tidak! Untuk mengerjakan amalan itu tentu tak harus menunggu hadirnya bulan Ramadan dan Syawal. Apalagi belum tentu usia kita sampai pada Ramadan dan Syawal tahun berikutnya. Sayang sekali jika 10 bulan yang tersedia tidak dimanfaatkan untuk melaksanakan amalan yang sangat Allah cintai ini. Walau terdengar ringan, silaturahim memiliki manfaat besar bagi yang melaksanakannya. Baik di dunia maupun di akhirat.

Kapan pun dan di mana pun, tak ada salahnya jika kita menyambung dan merajut tali persaudaraan. Baik dengan orang yang menyayangi kita maupun sebaliknya. Membina silaturahim dengan orang yang sayang kepada kita memang mudah. Namun, jika menyambung tali silaturahim dengan orang yang membenci kita, maka diperlukan kebesaran jiwa untuk melakukannya.

Kapan pun silaturahim bisa dilakukan. Tak hanya di bulan Ramadan atau Syawal. Selain mendapatkan pahala berlipat ganda, seseorang yang menjalankan perintah-Nya akan mendapatkan janji Allah, yakni surga.

Dari Abu Ayyub Al-Anshari ra., sesungguhnya seorang laki-laki berkata: "Ya Rasulullah, ceritakanlah kepadaku amalan yang memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka. Maka Nabi saw bersabda: "Engkau menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahim." (HR. Bukhari dan Muslim). 

ada yang senang berkunjung kepada keluarga, teman dekat, dan para tetangga. tapi ada juga tipe orang yang hanya berharap dukunjungi, tidak mengunjungi. mereka ini adalah oerang-orang yang selalu merasa dirinya tidak mempunyai salah, dan orang selayaknya meminta maaf, bukan Dia. ada rasa gengsi yang begitu besar ketika memulai diri sendiri untuk berkunjung, tidak mau di anggap mempunyai salah lah, malas lah, merasa kedudukan lebih tinggi, dan berbagai macam alasan lainnya.

orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang selalu dihinggapi rasa sombong dan merasa diri tidak pernah salah. orang-orang seperti ini tidak pernah mendengar perkataan rasul:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”

mereka tidak pernah tau dengan ancaman Allah SWT

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Artinya: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS Muhammad 47:22-23).

jika semua orang hanya berharap di KUNJUNGI tanpa mau meluangkan sedikit waktu untuk MENGUNJUNGI. maka kita tidak akan melihat suasana idul fitri yang Indah, penuh tawa, senyum sumringah. orang-orang akan berdiam di rumah masing-masing dan berharap teman, keluarga dan tetangga nya datang terlebih dahulu. Lalu siapa yang akan Datang???

masihkah berharap dikunjungi dan tidak mau terlebih dahulu mengunjungi????


“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).

Maka sepatutnyalah engkau, wahai saudaraku muslim. Hendaklah bersemangat memanjangkan umurmu dengan bersilaturahim. Ketahuilah, barangsiapa yang menyambungnya, niscaya Allah Ta’ala akan berhubungan dengannya. Dan barangsiapa memutuskannya, maka Allah pun akan memutuskan hubungan dengannya.

arti minal ‘aidin wal faizin



Ucapan minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin, sudah tidak asing lagi bagi kita dan masyarakat Indonesia pada umumnya. akan tetapi banyak dari kita yang mengucapkannya, tapi tidak tahu apa yang dimaksud dengan minal ‘aidin wal faizin, dan arti sebenarnya dalam bahasa Indonesia. tidak jarang banyak pula yang mengatakan minal ‘aidin wal faizin berarti Mohon maaf lahir dan batin.

Saya sendiri (Red:Hendra) teringat ketika salah seorang penulis buku Islami Best Seller, berinisial AG, ketika menjadi narasumber di TV One pada bulan ramadhan, saya lupa Ramadhan tahun berapa, tapi bukan ramadhan tahun ini. acaranya saya ingat persis mengangkat tema menuju kemenangan, dan itupun diadakan 1 hari sebelum lebaran. acara yang diliput secara live oleh TV One ini dihadiri oleh pemuka-pemuka agama, tidak terkecuali pemuka agama non Islam. Ketika sesi tanya jawab, ada seorang pemuka agama non Islam bertanya kepada AG, kurang lebih seperti ini beliau bertanya.

"Pak, walaupun saya bukan seorang Muslim, tapi ada rasa tentram dan ketenangan ketika pada saat lebaran mendengar Muslim mengucapkan minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin, saya sangat senang dengan ucapan ini, saya mau bertanya, sebenarnya apa arti dari minal ‘aidin wal faizin itu?"

sebelum AG menjawab pertanyaan, ternyata ada jeda iklan terlebih dahulu, pada saat itu,saya yang belum tahu arti dan makna dari minal ‘aidin wal faizin merasa penasaran dengan jawaban yang akan diberikan AG , karena menurut saya semua orang pasti menunggu jawaban tersebut. setelah beberapa menit jeda Iklan alih-ali mendapat jawaban dari AG tentang arti dari minal ‘aidin wal faizin, AG hanya mengatakan "bahwa itulah indahnya Islam, kata minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin kelihatan sangat serasi, dan orang-orang yang mendengarnya pun ikut senang" begitulah kurang lebih apa yang di sampaikannya.

ada rasa kecewa ketika saya mendengar jawabannya, karena menurut saya beliau adalah salah seorang tokoh yang bisa dikatakan Cendikiawan Muslim, saya tidak tahu, apakah beliau memang tidak mengerti bahasa arab, atau ada alasan lain.

Jadi apa sebenarnya makna minal ‘aidin wal faizin, apakah artinya mohon maaf lahir dan batin? atau kalimat "mohon maaf lahir batin" hanya kalimat yang mengikuti minal ‘aidin wal faizin, tanpa ada hubungan dengannya?

ada dapat menemukan jawaban tersebut dari buku Lentera hati karangan Prof. Dr. Quraish Shihab.

Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati menyatakan bahwa dari segi bahasa, minal `aidin bermakna “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali” yaitu kembali  kembali kepada fitrah: “asal kejadian” atau “kesucian” atau “agama yang benar”.
Sementara itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti “keberuntungan”. Dalam Al-Quran,  kata tersebut terulang 29 kali dalam berbagai bentuknya.
Ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, seluruhnya mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi”, kecuali QS 4:73 dalam bentuk afuzu (saya beruntung) yang menggambarkan ucapan orang-orang munafik yang memahami keberuntungan sebagai semata-mata bersifat material.
Kalau demikian halnya, lanjut Prof. Dr. Quraisy Shihab, wal faizin harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surgaNya.

jika ddi uraikan dalam tata bahasa arb, maka kalimat  minal ‘aidin wal faizin terdiri dari huruf-huruf:  Mim-nun-alif-lam-'ain-alif-hamyah-dal-ya-nun-wawu-aliflam-fa-alif-hamyah-ya-za-ya-nun.
Sehingga jika ditranselerasikan kedalam Bahasa Indonesia Menjadi:
1. Min, Yang memiliki arti “termasuk”.
2. Al-aidin, Artinya”orang-orang yang kembali”
3. Wal, Artinya “dan”
4. Al-faizin, Artinya “ menang”.
Jika dimaknai secara harfiah dari Minal 'Aidin wal Faizin dalam bahasa indonesia, menjadi:
“Termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang”.
dan bukan berarti Mohon maaf Lahir dan Bathin, melainkan ditambahkannya kalimat tersebut untuk menyertai bahasa Arab Minal 'Aidin Wal faizin.


Rabu, 15 Agustus 2012

TIPS MENGHINDARI TANDA HITAM DI JIDAT


seringkali jidat hitam menjadi tanda yang dapat menjadikan orang sombong, sombong karena memiliki tanda bahwa dirinya sering sujud. nah bagi kita yang tidak ingin jidatnya hitam karena sering sujud dibawah ini saya tuliskan beberapa cara untuk mengurangi hitamnya jidat.

1. gunakan sajadah yang empuk atau tidak keras sehingga ketika sujud jidat teras lebih enak dan lembut hal ini tentunya akan membuat jidat tidak hitam
2. ketika sujud carilah posisi yang paling seimbang sehingga tidak terlalu berat ke depan, jika berat badan terlalu kedepan maka jidat akan menahan berat badan kita hal ini akan menyebabkan jidat akan mudah hitam (bahasa jawa kapalen).
3. pada saat sujud usahakan muka yang menempel pada lantai adalah hidung, jidat kalau memungkin kan mulut. hal ini tentunya akan mengurangi tekanan yang ada pada jidat.
4. kalau sujud jangan terlalu panjang, semakin panjang (dlosor) sujud kita maka akan semakin cepat hitam jidat kita
5. kalau perlu gunakan pelembut di dahi atau jidat kita sehingga bagian tersebut lebih lunak.
6. gunakan tangan kita kanan dan kiri sebagai bantuan untuk menahan berat badan , hal ini akan mengurangi banyak beban berat yang ada di dahi..
7. proporsionalah ketika sujud, jangan berlebihan, sehingga menyebakan muka terlalu keras terkea lantai.

selamat mencoba, dahi hitam, jika tidak kuat mentalnya, akan menyebabkan sombong “sombong spiritual” jika ini terjadi maka akan menjadikan sujud kita tak bernilai.

LEBAY DALAM BERAGAMA PART III

Setelah sebelum nya telah penulis (red. Hendra) sebutkan, bahwa tidak ada 1 pun riwayat shahih bahkan dhaif sekalipun yg menyatakan atau mengkhabarkan kepada kita bahwa rasul itu jidat/kening nya hitam karena sujud. Serta kebiasaan tersebut di amalkan oleh para sahabat.

Lantas, apa dasar dari mereka yg mengklaim dan bangga akan tanda hitam yang konon katanya karena membekasnya sujud yg mereka lakukan bertahun-tahun, atau ada yang dengan sengaja memberikan tanda hitam di keningnya dengan minyak tertentu, karena menganggap itu adalah sunnah.

Ketika penulis mulai kebingungan mencari dasar alasan yang menjadi pegangan mereka, penulis berkesempatan langsung menanyakan kepada salah satu tokoh agama yg jidatnya hitam. Dan langsung menanyakan apa dasar atau hujjah yg di balik hitamnya kening beliau.
Tanpa basa-basi, beliau dengan penuh keyakinan mengutip dan menyitir potongan surat al-fath ayat 29.

"muhammad itu adalah utusan allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku' dan sujud, mencari karunia Allah dan keridha'an nya, TANDA MEREKA TAMPAK PADA MUKA MEREKA DARI BEKAS SUJUD" (QS. Al-fath: 29).

Lantas benarkah berhujjah dengay ayat ini, untuk membenarkan hitam nya kening atau jidat, sebagai tanda dari bekas sujud??

Eeeitts. . . Tunggu dulu!!

Penafsiran seperti itu adalah penafsiran yang munkar. Dan sangat keliru!
Karena "TANDA MEREKA TAMPAK PADA MUKA MEREKA KARENA BEKAS SUJUD" pada ayat tersebut bukan lah anjuran untuk menghitamkan kening di antar kedua mata, dan bukan juga sebagai isyarat bahwa ketika sering melakukan sujud maka akan membekas di kening mereka.

Di riwayatkan oleh thabari dengan sanad yang hasan dari ibnu abbas bahwa yg dimaksud dengan tanda mereka adalah perilaku yg baik (TAFSIR MUKHTASAR SHAHIH HAL.546).

Lantas, apakah para sahabat juga pernah melakukan hal serupa?

Rupanya, perilaku seperti ini tidak hanya terjadi di jaman sekarang, Ibnu umar, salah seorang sahabat terdekat rasul pernah menjumpai hal seperti ini.

"dari salim abu nadr, ada seoran datang menemui ibnu umar, setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya : siapakah anda?, aku adalah anak asuhmu. Jawab orang tersebut! Ibnu umar melihat ada bekas sujud yg berwarna hitam di antara kedua matanya, beliau berkata kepadanya. Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh, aku telah lama bersahabat dengan rasulullah, abu bakar, umar, dan usman, apakah kau melihat ada bekas tersebut pada dahiku? (RIWAYAT BAIHAQI DALAM SUNAN KUBRO NO 3698).

Dari riwayat tersebut, Ibnu umar secara implisit ingin membatah kebiasaan bathil tersebut, karena beliau lebih tau apa yg dilakukan rasul dan para sahabat terdekat lainnya. Dan itu tidak ada dan tidak pernah di anjurkan rasul.

Dari ibnu umar, beliau melihat ada seorang pada dahinya terdapat bekas sujud, "wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya, janganlah kau jelekan penampilanmu" (RIWAYAT BAIHAQI DALAM SUNAN KUBRO NO 3699).

agar llebih jelasnya, kita lihat saja dalil-dalilnya langsung.



مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS Al-Fath:29).

Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan “tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” Padahal bukan demikian yang dimaksudkan.

Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan “tanda mereka” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan.
Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat.” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).
عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda? “Aku adalah anak asuhmu,” jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu BakAr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.
Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).
عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.
Dari Abi Aun, Abu Darda melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat “kapala semisal kapala yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, “Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik.” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).
عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku.” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang kapala yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan kapala yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an.” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).
Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah) (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku.” Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!” Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya.” Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil.” Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku.” Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,
يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ
“Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al-Qur’an namun al-Qur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalu muncul.” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li ghairihi oleh Syeikh Syu’aib al-Arnauth).
Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsional jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup dan keras menempelkan dahi kelantai. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi. Wallohu A’lam bish-Showab
Semoga bermanfa’at untuk menjauhkan diri dari kesalahpahaman dan riya' dalam ibadah. Aamiin.


JODOH


Pernahkah kita bertanya jodoh itu takdir yang sudah di gariskan ??? atau Pilihan??

Jika jodoh itu takdir, kenapa Rasulullah menyuruh kita memilih? Namun jika jodoh itu pilihan, kenapa kita tidak dapat bersatu dengan orang yang kita pilih jika takdir tidak menggariskan??
Serumit itukah masalah jodoh jika terus di pertanyakan??
Katanya jodoh adalah seseorang yang sudah tertulis namanya di Lauh Mahfuz jauh sebelum kita di ciptakan yang akan di takdirkan menjadi pendamping hidup kita. Tapi ada juga yang bilang bahwa jodoh itu bisa berubah seiring perubahan yang terjadi pada akhlak kita. Seperti halnya rizki yang sudah di tuliskan di Lauh Mahfuz sana, jodoh juga harus di usahakan dengan ikhtiar dan do'a ,di cari dengan jalan halal. Karena seperti halnya rizki yang harus kita cari dengan pekerjaan halal agar rizki yang kita dapat itu membawa keberkahan untuk hidup kita, begitu pula jodoh.. Jika ingin beruntung dan bahagia.
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitupun kita sebagai wanita, ketika kita hendak memenerima tau memilih calon suami. Kita pun harus melihat agamanya ( ketaqwaannya) , agar dia bisa membimbing kita dan menjadi imam yang baik . Lalu bagaimana dengan mereka yang bercerai? Katanya itu berarti jodoh mereka telah habis.

Dari sini aku mulai berfikir, otakku berputar mencari jawaban. Karena semakin kita mempertanyakan rahasia Allah. Hanya kan membuat kita semakin bingung.
Kesimpulan itu adalah:
Kita tetap di wajibkan "MEMILIH" karena Rasulullah menyuruh kita memilih kalau kita mau bahagia dan beruntung. dengan kriteria utama yang baik agamanya tentunya. Masalah dia berjodoh atau tidak dengan kita biarkan takdir yang memainkan peranannya. Tugas kita hanya berdo'a memohon yang terbaik dan berusaha melakukan yang baik sesuai pesan Rasulullah.

Rasulullah telah memberi petunjuk dan nasihat memilih pasangan hidup kepada kita. Jika setelah tahu kita tetap memilih yang berlawanan karena mengedepankan nafsu dan ego saja. Itu berarti kita telah memilih sendiri jalan hidup kita yang berlawanan dengan apa yang sudah Rasulullah anjurkan. Jadi jangan salahkan takdir, jangan salahkan Allah jika kamu terjebak ke dalam jalan kerugian. Karena kamu sendiri yang memilih.

Bukankah Allah sudah memperingatkan.. Rasulullah pun sudah berpesan. Kita sendiri yang menentukan pilihan, walaupun hasil akhirnya tetap ada di tangan Tuhan, apakah mempersatukan dengan orang pilihan kita meskipun kita salah jalan , atau justru menggagalkan. Jika Allah menyatukan jangan berbangga dan
merasa benar dulu, belum tentu Allah meridhai pilihan kita tadi bukan? Karena Allah hanya akan meridhai yang baik-baik saja. Tapi karena kasih-Nya, Dia mengabulkan apa yang kita usahakan, Dia mengizinkan semua itu terjadi, namun aku yakin di balik kehendak-Nya tadi, Allah pasti berkata.. "Inikah maumu? Inikah yang membuatmu bahagia? Inikah yang kau pilih? maka Aku izinkan semua maumu ini terjadi.. Namun kau juga harus mempertanggung jawabkan semua ini di akhirat nanti"
Di dunia Allah masih menyayangi semua hamba-Nya. baik itu yang bertaqwa maupun yang durhaka... Semua mempunyai hak yang sama. Tapi di akhirat? Jangan harap... Allah hanya kanmencintai hamba-Nya yang bertaqwa di dunia bukan yang selalu mendurhakai-Nya.
Jangan selalu menyalahkan takdir ,apalagi menyalahkan Allah. Karena pada dasarnya kita punya bagian besar dalam menentukan jalan hidup kita. Bukankah kita sendiri yang memilih menjadi orang baik atau menjadi orang jahat? menjadi orang Jujur atau pendusta? menjadi oarng bertaqwa atau durhaka?
Jadi sekarang mau pilih mana?
Pilihan Rasulullah? atau Pilihan nafsu kita?
Beruntung atau merugi?
Ta'aruf atau pacaran?
Menyerah pada nasib atau berusaha memperbaiki nasib?
Menyerah pada cinta atau menyerahkan cinta ada-Nya?

Jangan selalu menjadi manusia yang pandai menyalahkan orang lain atas hal buruk yang terjadi dalam hidup kita , apalagi sampai menyalahkan Allah. Kita semua di anugerahi akal untuk berfikir, untuk menimbang apa saja kemashlahatan dan kemudharatan yang akan kita tanggung ketika kita hendak memilih atau melangakah.

So.. Awali dengan cara Islam, jalani dengan aturan Islam .. Semoga kita mendapat akhir yang tentram. So.. Jodoh RAHASIA ALLAH. Kita sebagai hamba hanya bisa mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya agar bisa mencapai puncak keberuntungan. Ikhtiar dan do'a janganlah lupa .. dan tetap menjadikan pesan Rasulullah sebagai kriteria utama memilih dan menerima calon pendamping kita. Karena kehidupan tidak akan berakhir hanya di dunia. Ada kehidupan setelah ini yang lebih abadi, dan apa yang kita kerjakan di dunia inilah iyang menjdi penentu kebahagiaan kita di akhirat kelak.
Wallahu'alam Bi Shawab.

SIHIR SYAIR MUSIK

 Pasti semua tahu dengan lirik lagu ini..di bawah ini

Walau cinta kita sementara
Aku merasa bahagia
Kalau kau kecup mesra di keningku
Ku rasa bagai di Surga

Reff:
Cinta satu malam
Oh indahnya
Cinta satu malam
Buatku melayang
Walau satu malam
Akan selalu ku kenang
Dalam hidupku
Cinta satu malam
Oh indahnya
Cinta satu malam
Buatku melayang
Walau satu malam
Akan selalu ku kenang
Selama-lamanya
Sentuhanmu membuatku terlena
Aku telah terbuai mesra
Yang ku rasa hangat indahnya cinta
Hasratku kian membara

atau yang satu ini..

Berdansa dan menari ikuti alunan lagu
Semua matapun kini hanya tertuju padaku
Tapi tatap matamu seolah inginkan aku
Ingin dekat kau peluk aku dan sentuh cintaku
Tapi tunggulah dulu kau jangan coba merayu
Tunggu tunggulah dulu kau jangan dekati aku
Sabar sabarlah dulu kau jangan marah padaku
Bukan salahku jika banyak yang mau padaku

Reff 2x :
Mari semua dansa denganku
Dekap aku dan hanyutkanku
Dengan irama yang menggoda
Melepaskan hasrat dirimu

Back To *, Reff

Kamu inginkan aku
Peluk aku cium aku
Kamu inginkan aku
Ingin bercinta denganku

Tentunya kita masih ingat kan dengan lirik-lirik lagu di atas? Yap, itu adalah potongan dari lagu CINTA SATU MALAM nya Melinda dan MARI BERCINTA nya ura kasih. Lagu ini begitu familiar bagi kita bahkan sangat seriung di putar di radio atau telivisi. Tapi apakah kita sadar jika Lagu ini banyak mengandung pesan MAKSIAT?
Kenapa?

coba saja kita lihat dari segi visualnya ketika para penyanyi nya memmbawakan lagu ini, dengan pakaian nyaris "TELANJANG" serta mengumbar aurat yang sangat tiidak patut dengan norma ketimuran, bahkan jika di lihat dari sidut pandang etika moral ketimuran saja sudah sangat tidak layak....Pakaian yang minim di tambah lenggak-lenggok serta aksi-aksi yg terkadang tidak perlu sama sekali (sambil menyanyi sambil mendesah, apa korelasinya coba), Apalagi jika kemudian Islam yg kita jadikan kacamata untuk melihatnya..
perhatikan apa yang rasul sampaikan berikut...
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya.” [TMQ An-Nur (24):31].

Yang di maksud “wa laa yubdiina ziinatahunnaa” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah "wa laa yubdiina mahalla ziinatahinnaa", maksudnya janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan. [Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz III hal.316].

Selanjutnya, kalimah “illa maa zhahara minhaa” [kecuali yang (biasa) nampak darinya], ini bermaksud, ada anggota tubuh yang boleh dinampakkan iaitu wajah dan kedua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebahagian sahabat, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan juga Aisyah [Al-Albani, 2001:66].

Ibnu Jarir Ath-Thabari (wafat 310H) menjelaskan dalam kitab tafsirnya, Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII ms 84, mengenai apa yang di maksud “kecuali yang (biasa) nampak darinya (illaa maa zhahara minha)”, katanya, pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahawa, yang dimaksudkan (dalam ayat di atas) adalah wajah dan dua telapak tangan.

Pendapat yang sama dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jamia li Ahkam Al-Qur’an, Juz XII hal. 229 [Al-Albani, 2001:50 & 57]. Jadi, apa yang biasa nampak darinya adalah wajah dan dua telapak tangan sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan Muslimah di hadapan Nabi Sallalahu alaihi wa Sallam sedangkan baginda mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan solat dan biasa terlihat di masa Rasulullah iaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an [An-Nabhani, 1990:45].

Dalil lain yang menunjukkan bahawasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan ialah sabda Rasulullah  kepada Asma’ binti Abu Bakar,

Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidh) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR Abu Dawud]



nah tentunya dari standar alquran dan apa yg di katakan rasul diatas, kita sudah mafhum kenapa kemudian dari segi visual saja islam sudah menentang keras terhadap orang-orang (penyanyi dengan mengumbar aurat) tersebut...
dari segi psikologis tarbiyah tentunya hal-hal seperti ini sangat berbahaya bagi para generasi muda..
bahkan parahnya lg tidak hanya anak muda, bahkan anak kecil pun sudah sangat sering melihat aksi-aksi seperti ini.
Lantas bagaimana jika kita lihat dari segi Lirik?

Mari semua dansa denganku
Dekap aku dan hanyutkanku
Dengan irama yang menggoda
Melepaskan hasrat dirimu
Kamu inginkan aku
Peluk aku cium aku
Kamu inginkan aku
Ingin bercinta denganku
apakah kita sadar lirik tersebut sarat dengan unsur zinah, lirikilirik mesum yang secara psikologis mengajak para penikmat atau pendengarnya  larut dengan suasana tersebut, dan bukan tidak mungkin akan "Praktek" Nantinya. NAUDZUBILLAH TSUMA NAUDZUBILLAH..
Jadi tidak benar atau keliri kalau ada yang bilang ,musik hanyal;ah sekedar hiburan belaka tanpa adanya paham atau ideologi yang di tawarkan.
Seorang filosof besar semacam Frederich Nietsze (1844-1900) pun mengumandangkan betapa bermakna nya musik dalam kehidupan ini. Nietszche mengatakan "Wothout Music Life Would be A Mistake", Tanpa musik hidup ini akan menjadi sebuah kekeliruan. Dan akan semakin keliru jika kemudian pesan-pesan yg di samapaikan melalui musik "Meracuni" para penikmatnya.

adakalanya kita-kita sering terlena dan tertipu dengan stempel hiburan yang melekat pada musik yg kita dengar atau nikmati. Padahal, musik paling jago menggiring opini publik ke arah sudut pandang penyanyi dan sang pencipta lagu nya. kalo tidak "Smart", bisa-bisa kita terhipnotis dan terbawa pesan dalam lagu yang kita dengar. Mending mengajak sekaligus mendidik pendengar ke arah positif, lha kalo yang di suarakan serta aksi yang di tampilkan ketika membawakannya adalah budaya-budaya jahiliah, budaya liberal serta budaya sekuler yang minim edukasi atau propaganada ideologi non Islam?...BAHAYA...

Rasul pernah bersabda "Sesungguhnya di antara Bayan adalah sihir" (HR BUKHARI).
yang di maksud Bayan di sini adalah kemampuan komunikasi, atau kemampuan merangkai kata untuk menyampaikan maksud tertentu.
Makanya tidak jarang kita terhanyutdalam lagu-lagu yang kita dengarkan.

SO WHAT?
TIDAK BOLEHKAH KITA MENDENGARKAN MUSIK DAN  BERSENI?

Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.

Definisi Seni

Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.

Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.

Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu  juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).

Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].

Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihimaMengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmalPada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).

Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahahHukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].

b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).

Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrimHukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haramSegala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).

Sehingga penulis pun mengambil kesimpulan, dan memberikan solusi bagi para penimkmat musik, karena semangat Islam adalah hadir dengan mengusung "memberi solusi" bagi kehidupan manusia bagi kehidupan dunia maupun akhirat. Berikut ada sedikit Tips agar aktivitas mendengarkan musik kita agar manfaat dan tidak menabrak ajaran Islam:

1. Mendengarkan musik itu boleh, selamanya kadarnya cukup dan tidak berlebihan. Ukuran berlebihan di sini ialah tidak melenakan dan tidak melewati batas sehingga lupa dan lalai dari kewajiban kita mengingat Allah SWT, Apalagi sampai meninggalkan kewajiban kita kepada Allah..

2.Batasan yg lain ialah mengenai isi/lirik/materi lagu tersebut. Lagu yg boleh untuk di dengarkan ialah lagu yang syair nya tidak bertentangan dengan ajaran Islam seperti Akidah, Akhlak, dan Syariat. serta syair-syair yang menjauhkan kita dari Allah SWT.

3.Yang selanjutnya ialah bagaimana cara si penyanyi membawakan lagu tersebut, apakah mereka membawakannya dengan pamer aurat, lenggak-lenggok, dengan memamerkan sebagian atau keseluruhan anggota tubuhnya. Seperti Ngecor, Ngebor, dll..kalau yg seperti ini jelas-jelas di LARANG.

4.yg ke empat ialah yg perlu juga kita ingat dan hindari, nyanyian itu tidak boleh di barengi dengan sesuatu yg haram, seperti minuman alkohol; atau mendengarkn musik di kafe-kafe yg riskan akan minuman keras, aurat serta ekslploitasi wanita.

Dan pesan terakhir, bagi ana pribadi dan penikmat musik untuk selalu menyikapi apa yg kita dengar dengan "CERDAS". Jangan sampai apa yg kita dengar malah menjauhkan kita dari ajaran Islam itu sendiri. Mulai dari sekarang berani untuk meninggalkan apa yang kita sukai jika memang bertentangan dengan ajaran agama..