DI zaman sekarang, banyak pasangan yang dengan sengaja memanggil istri/suaminya dengan panggilan-panggilan "kekerabatan" yang sering diasumsikan sebagai panggilan kesayangan. seperti istri yang memanggil suaminya dengan panggilan ABANG, KAKAK, PAPI, ABI, Dll, begitu juga sebaliknya, suami memanggil istrinya dengan sebutan ADIK, MAMI, UMI, Dll. Untuk menambah kemesraan dan panggilan kesayangan bagi pasangan mereka ini sudah lumrah terjadi bagi siapa saja. Akan tetapi, tahukah anda, jika tanpa diketahui, dan disadari, panggilan-panggilan tersebut ternyata mengandung konsekwensi hukum dalam Islam. panggilan tersebut bagian dari penyerupaan mahram dalam Islam, dan membuat yang dipanggil atau yang memanggil terkena konskwensi hukum layaknya hubungan mahram (haram untuk dinikahi). dalam Islam, dikenal dengan istilah ZIHAR.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN ZIHAR?
Secara bahasa Zhihar adalah pecahan dari Zhahrun (punggung).
Sedangkan menurut Istilah Zhihar adalah ungkapan suami yang menyerupakan
istri dengan punggung ibunya. Seperti ungkapan “Anti kazhahri ummi-Engkau bagiku laksana punggung ibuku”.
HUKUM ZIHAR.
Hukum Zhihar berdasarkan kesepakatan para ulama adalah haram. Ini dilandaskan kepada Firman Allah “Orang-orang
yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai
ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka
tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta.
Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.(QS. Al-Mujadalah: 3). Dalam ayat ini ada frasa kalimat “Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta” adalah indikasi (Qarinah) akan keharaman Zhihar.
Ibnu Katsir menuturkan ayat diatas turun berdasarkan peristiwa yang
menimpa Khuwailah Binti Tsa’labah. Dia berkata, demi Allah, karena
peristiwa saya dan suami saya Aus bin Shamit. Allah menurunkan surat
Al-Almujadalah. Khuwailah melanjutkan ceritanya. “Pada suatu hari,
saya berada disisisuamiku, sedang dia adalah orang yang sudah tua renta.
Perangainya menjadi jelek dan suka membentak-bentak saya. Pada suatu
saat dia masuk ketempat saya untuk memberikan sesuatu kepada saya. Lalu
dia marah-marah seraya berkata “Engkau bagiku laksana punggu Ibuku”.
Kemudian dia keluar, lalu duduk-duduk di kebun kurma beberapa lama.
Kemudian dia masuk lagi kepada saya, maka tiba-tiba dia sangat
menginginkan saya (untuk bersetubuh). Saya berkata kepadanya “jangan kau
dekati saya. Demi Allah yang jiwa saya berada ditanganNya, jangan
sekali-kali kamu menyentuh saya. Karena kamu telah mengucapkan kata-kata
itu (zhihar). Lalu Allah memutuskan perselisihan keduanya”(HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud).
UNGKAPAN-UNGKAPAN ATAU PANGGILAN YANG TERMASUK ZIHAR.
Sudah lazim diketahui bahwa zhihar adalah penyerupaan Istri dengan
ibu. Dalam ayat dan hadist zhihar di identikkan dengan punggung, maka
maksud dari ungkapan tersebut adalah seluruh hal yang bisa menyerupai
ibu. Karena kalimat Zhihar (punggung) adalah ungkapan sebagaian yang
dimaksudkan untuk seluruhnya.
Maka, menyamakan Istri dengan tangan, rambut, betis dan anggota tubuh
lain dari ibu merupakan bentuk zhihar. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah. Dari sini bisa
diambil kesimpulan bahwa memanggil istri dengan panggilan ibu, umi,
mami, mamah, dan semisalnya adalah haram karena sudah masuk dalam
kategori zhihar. Hal ini bisa di fahami dalam sebuah hadits bahwa ada
seorang suami yang memanggil isterinya “Wahai ukhti!”. Mendengar hal tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah dia memang saudarimu?!”. Nabi membenci hal tersebut dan melarangnya. (HR Abu Daud no 2210 dan 2211).
Ulama’ berbeda pendapat ketika menyamakan Istri dengan mahram-mahram
lain selain dari ibu. Seperti kepada kaka perempuan, adik perempuan,
bibi, atau saudara perempuan sepersusuan.
Imam Maliki, Syafi’ie dan Abu Hanifah berpendapat; bahwa penyerupaan
istri dengan mahram selain dari ibu itu menjadi zhihar sekalipun
penyerupaannya dengan mahram dari sepersusuan. Imam Ahmad menegaskan “sesungguhnya penyerupaan istri dengan mahram selain dari ibu adalah zhihar”.
Pengharaman penyerupaan kepada mahram selain dari ibu, berdasarkan qiyas dimana yang menjadi ‘Illatnya adalah pengharaman yang abadi , dan pengharaman yang abadi ini hanya ada pada mahram.
Penjelasan ini masih menyisakan satu pertanyaan, bagaimana bila suami
yang memanggil istrinya dengan sebutan ibu, mamah, Ummi, dan
sebagainya. tidak diniatkan untuk zhihar?? jawaban dalam masalah ini
adalah. bahwa ungkapan zhihar sama dengan ungkapan pada akad-akad
muamalah yang lain; sepeti jual jual beli, nikah, cerai, dan sebagainya.
disini yang dilihat bukan niatnya tetapi apa yang diucapkan. sehingga
walau tidak diniatkan zhihar tetapi ucapannya adalah ucapan zhihar, maka
hal tersebut jatuh kedalam zhihar.
Suami yang telah menzhihar istrinya haram, haram menyetubuhi istrinya sebelum dia membayar kifarat (Denda). Hal ini berdasarlam ayat”Dan orang-orang yang menzhihar
isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan orang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur” (Al-Mujadalah: 3).
Juga hadist Nabi Saw dari Ibnu Abbas “Sesungguhnya seorang menzhihar
istrinya, kemudian dia mencampurinya, kemudian dia datang menghadap
Rasulullah SAW seraya berkata “Sesungguhnya saya sudah mencampuri Istri
saya sebelum saya kifarat. Rasulullah SAW bersabda “janganlah kamu
dekati dia (menyetubuhi istrinya). Sehingga melaksanakan apa yang telah
Allah perintahkan”.(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Annasa’ie dan Ibnu Majah).
KIFARAT (DENDA) BAGI SUAMI YANG MEN-ZIHAR ISTRINYA.
Suami yang menzhihar Istrinya, maka dia wajib menbayar kifarat
(Denda) sebelum dia bercampur dengan Istrinya. Sebagaiman yang
termaktub dalam surat Al-Mujadalah. Allah SWT Berfirman “Orang-orang
yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa
yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih” (QS. Al-Mujadalah: 3-4).
Dan juga hadist Nabi SAW “Dari Salamah bin Shakhr al-Bayadhl
bercerita, Dahulu aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat besar
kepada wanita tidak seperti kebanyakan orang. Ketika tiba bulan
Ramadhan, aku pernah menzhihar isteriku hingga bulan
Ramadhan berakhir. Pada suatu malam tatkala ia berbincang-bindang
denganku, tiba-tiba tersingkaplah kepadaku kain yang menutupi sebagian
dari anggota tubuhnya maka akupun melompatinya lalu kucampuri ia. Dan
pada pagi harinya aku pergi menemui kaumku lalu aku memberitahukan
mengenai diriku kepada mereka. Aku berkata kepada mereka, ”Tanyakanlah
kepada Rasulullah saw. mengenai persoalan ini. Maka jawab mereka, ’kami
tidak mau. Kami khawatir jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai
kita atau Rasulullah saw bersabda tentang sesuatu mengenai diri kita
sehingga tercela selamanya. Tetapi nanti akan kamu serahkan sepenuhnya
kepadamu persoalan ini. Pergilah dan sebutkanlah urusanmu itu kepada
Rasulullah saw. ”Maka akupun langsung berangkat menghadap Nabi saw.
kemudian aku utarakan hal tersebut kepada Beliau. Maka Beliau saw
bertanya ”Apakah benar kamu melakukan hal itu?” Saya jawab ”Ya, dan
inilah supaya Rasulullah aku akan sabar dan tabah menghadapi putusan
Allah atas diriku,” Sabda Beliau ”Merdekakanlah seorang budak.” Saya
jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, aku
tidak pernah memiliki (seorang budak) kecuali diriku ini.” Sabda Beliau,
”Kalau begitu puasalah dua bulan berturut-turut.” Saya jawab, ”Ya
Rasulullah, bukankah cobaan yang telah menimpaku ini terjadi ketika aku
sedang berpuasa”, Sabda Beliau, ”Kalau begitu bershadaqahlah, atau
berilah makan kepada enam puluh orang miskin.” Saya jawab, ”Demi Dzat
yang telah mengutusmu dengan membawa yang Haq sesungguhnya kami telah
menginap semalam (tatkala terjadi perselisihan itu sedang kami akan
makan malam. ’Maka sabda Beliau ”Pergilah kamu kepada siapa saja yang
akan bershadaqah dari Bani Zuraiq. Kemudian katakanlah kepada mereka
supaya memberikannya kepadamu. Lalu (dari shadaqah itu) berilah makan
enam puluh orang miskin, dan selebihnya gunakanlah (untuk dirimu dan
keluargamu).”(Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1677, Ibnu Majah I : 665 no:2062 dan ’Aunul Ma’bud VI:298 no:2198, Tirmidzi II:335 no:1215.
Alangkah lebih romantis nya jika panggilan-panggilan yang kita sematkan pada pasangan diganti atau dirubah dengan panggilan-panggilan yang tidak ada hubungannya dengan panggilan-panggilan mahram, dan diganti dengan panggilan lain yang lebih romantis seperti panggilan rasul kepada istri-istrinya, seperti humairah (gadis yang merona), dlll. atau panggilan-panggilan lain seperti bebeb, honey, sayang, dll.
wallahu ta'ala a'lam