SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Rabu, 20 Agustus 2014

RADHIITU YA RASULULLAH

Dalam suatu pernikahan, wali perempuan lazimnya akan menggunakan lafazh "ankahtu/jawwaztu" atau "saya nikahkan/saya kawinkan" sebagai kalimat ijabnya, lalu pengantin laki-laki akan menyambutnya dengan lafazh "qabiltu" atau "saya terima.”

Pada pernikahannya dengan Fatimah, putri Nabi saw,  Ali Bin Abi Thalib menggunakan redaksi qabul yang memiliki makna yang jauh lebih dalam dari "saya terima."

Demikianlah, setelah para sahabat yang diundang Nabi saw berkumpul, beliau menyampaikan khutbah pengantar nikah sebagai berikut:

"Sesungguhnya Allah memerintahkan aku mengawinkan Fatimah dengan 'Ali. Aku mempersaksikan kalian bahwa aku telah (segera akan) menikahkan Fatimah dengan Ali dengas maskawin empat ratus mitsqaal perak jika Ali ridha (dengan perkawinan/maskawin) itu. Perkawinan yang sesuai dengan sunnah (kebiasaan yang berlaku) serta ketentuan (agama) yang diwajibkan. Maka, semoga Allah menghimpun apa yang terserak dari keduanya, semoga Allah memberkati keduanya, memperbaiki kualitas keturunan keduanya, menjadikan keturunan-keturunan mereka pembuka pintu rahmat, sumber-sumber hikmah, dan pemberi rasa aman bagi ummat. Demikian ucapanku dan aku memohon ampun kepada Allah untuk diriku dan untuk hadiri sekalian."

Ali bin Abi Thalib sendiri, pengantin pria, tidak hadir saat itu karena ada suatu tugas dari Nabi saw. Sambil menanti kedatangannya, undangan disuguhi hidangan dari kurma. Sesaat kemudian, Ali pun tiba. Rasul tersenyum kepadanya sambil bersabda:

"Wahai Ali, sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku mengawinkanmu dengan Fatimah. Sungguh aku telah mengawinkanmu dengannya dengan maskawin empat ratus mitsqaal perak."

Mendengar  ucapan Nabi saw tersebut, maka Ali pun menjawab: "Radhiitu Ya Rasulullaah (Aku rela/puas hati wahai Rasulullah)." Ali pun langsung bersujud sebagai bentuk syukurnya kepada Allah swt.

Jawaban Ali bin Abi Thalib itu sangatlah mengagumkan. Ia tidak menjawabnya dengan lafazh qabiltu (saya terima) tetapi radhiitu (saya rela/puas hati).
Menerima belum tentu diiringi dengan puas hati, tetapi puas hati pasti menerima. Berangkat dari riwayat inilah para ulama sepakat bahwa lafadz qabul pernikahan tidak selalu harus "saya terima", akan tetapi lafadz lain yang semakna keinginan untuk bersatu dengan redaksi berbeda pun dibenarkan, walaupun tidak begitu populer di masyarakat kita, khususnya indonesia.

wallahu ta'ala a'lam.

(Membaca Ulang Sirah Nabi saw).

STOP!!! JANGAN MEMUKUL.


مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين، واضربوهم عليها وهم أبناء عشر

Murū awlādakum bi ash-shalāti wa hum abnā'u sab'i sinīna, wa idhribūhum 'alaihā wa hum abnā'u 'asyrin.

Perintahkanlah anak-anak kalian shalat di usia tujuh tahun dan wajibkanlah mereka untuk itu di usia kesepuluh.

(HR. Abū Dāwud dan Ahmad).

Kata اضربوهم عليها seringkali diartikan dengan "pukullah mereka". Padahal, kata ضرب yang bergandeng dengan partikel على adalah berarti أوجب (mewajibkan) atau أمسك (menahan).

Dalam penggunaan sehari-hari, kata itu berarti mendorong atau memerintahkan dilakukannya sesuatu yang diikuti dengan upaya penumbuhan rasa takut akan akibat yang bisa ditanggung jika hal itu ditinggalkan. Akibat itu, antara lain, dalam konteks perintah shalat ini, adalah dosa.

Pemaknaan kata itu dengan "memukul" bisa saja menjadi pembenar bagi dilakukannya tindak kekerasan fisik terhadap seorang anak. Itu tidaklah selaras dengan begitu banyaknya riwayat yang menggambarkan betapa lemah lembutnya Nabi saw. saat berucap kepada dan bersikap terhadap anak-anak.


PS :
kata dlaraba tidak selalu berarti memukul. ada banyak arti dari kata tsb tergantung konteks kalimat. ini sebagian arti yang disebutkan dalam kamus al-muhith.............ضَرَبَه (القاموس المحيط)
ضَرَبَه يَضْرِبُهُ، وضَرَّبَهُ،
وهو ضارِبٌ وضَريبٌ وضَروبٌ وضَرِبٌ ومِضْرَبٌ: كثيرهُ، ومَضْرُوبٌ وضَريبٌ.
والمِضْرَبُ والمِضْرابُ: ما ضُرِبَ به.
وضَرُبَتْ يَدُهُ، ككَرُم: جادَ ضَرْبُها.
وضَرَبَتِ الطَّيْرُ تَضْرِبُ: ذَهَبَتْ تَبْتَغِي الرِّزْقَ،
و~ على يَدَيْهِ: أمْسَكَ،
و~ في الأرضِ ضَرْباً وضَرَبَاناً: خَرَجَ تاجِراً أو غازياً، أو أسْرَعَ، أو ذَهَبَ،
و~ بنَفْسِه الأرضَ: أقامَ،
كأضْرَبَ، ضِدُّ،
و~ الفَحْلُ ضِراباً: نَكَحَ،
و~ النَّاقَةُ: شَالَتْ بِذَنَبِها، فَضَرَبَتْ فَرْجَهَا، فَمَشَتْ، وهي ضَارِبٌ وضاربَةٌ،
و~ الشيءَ بالشيءِ: خَلَطَهُ،
كَضَرَّبَهُ، و~ في الماءِ: سَبَحَ، ولَدَغَ، وتَحَرَّكَ، وطالَ، وأعرَضَ، وأشار،
و~ الدَّهْرُ بَيْنَنا: بَعَّدَ،
و~ بِذَقَنِهِ الأرضَ: جَبُنَ وخافَ،
و~ الزَّمانُ: مَضَى.
والضَّرْبُ: المِثْلُ، والرَّجُلُ الماضي النَّدْبُ، والخَفيفُ اللَّحْمِ، والصِّنْفُ من الشيءِ،
كالضَّريبِ والمَضْروبِ، والمَطَرُ الخَفيفُ، والعَسَلُ الأَبْيَضُ، وبالتَّحْرِيكِ أشْهَرُ،
و~ من بَيْتِ الشِّعْرِ: آخِرُهُ.
والضَّريبُ: الرَّأسُ، والمُوَكَّلُ بالقِداحِ، أو الذي يَضْرِبُ بها،
كالضَّاربِ، والقِدْحُ الثالِثُ، واللَّبَنُ يُحْلَبُ من عِدَّةِ لقاحٍ في إناءٍ، والنَّصيبُ، والبَطِينُ من الناسِ، والثَّلْجُ، والجَليدُ، والصَّقِيعُ، ورَديءُ الحَمْضِ، أو ما تَكَسَّرَ منه.
وكزُبَيْرٍ: ضُرَيْبُ بنُ نُقَير، في: ن ق ر.
والمِضْرَبُ: الفُسْطاطُ العظيمُ، وبفتح الميمِ: العَظْمُ الذي فيه المُخُّ.
واضْطَرَبَ: تَحَرَّكَ وماجَ،
كتَضَرَّبَ، وطالَ مع رَخاوَةٍ، واخْتَلَّ، واكْتَسَبَ، وسألَ أن يُضْرَبَ له،
و~ القومُ: ضارَبوا،
كَتَضاربوا، و~ خَيْلُهُم: اخْتَلَفَتْ كلِمَتُهُم.
والضَّريبةُ: الطَّبيعةُ، والسَّيْفُ، وحَدُّه،
كالمَضْرَبِ والمَضْرَبَةِ، وتُكْسَرُ رَاؤُهُما، والقِطْعَةُ من القُطْنِ، والرَّجُلُ المَضْرُوبُ بالسَّيْفِ، ووَادٍ يَدْفَعُ في ذاتِ عِرْقٍ، وواحِدةُ الضَّرائِبِ التي تُؤْخَذُ في الجِزْيَةِ ونحوِها، وغَلَّةُ العَبْدِ.
وضَرِبَ، كَفرِحَ: ضَرَبَه البَرْدُ.
والضَّارِبُ: المَكَانُ المُطْمَئِنُّ به شَجَرٌ، والقِطْعَةُ الغَليظَةُ تَسْتَطِيلُ في السَّهْلِ، والليلُ المُظْلِمُ، والناقةُ تَضْرِبُ حالِبَها، وشِبْهُ الرَّحَبَةِ في الوادِي،
ج: ضَوارِبُ.
وهو يَضْرِبُ المَجْدَ: يَكْتَسِبُه ويَطْلُبُه.
واسْتَضْرَبَ العسلُ: ابْيَضَّ، وغَلُظَ،
و~ الناقةُ: اشْتَهَتِ الفَحْلَ.
وضُرابِيةُ، كقُراسِيَةٍ: كُورَةٌ بِمِصْرَ من الحَوْفِ.
وضارَبَ له: اتَّجَرَ في ماله، وهي القِراضُ.
وضارِبُ السَّلَمِ: ع باليَمامةِ.
وما يُعْرَفُ له
مَضْرِبُ عَسَلَةٍ، أي: أصْلٌ ولا قَوْمٌ ولا أبٌ ولا شَرَفٌ.
و{ضَرَبْنا على آذانِهِم}: مَنَعْناهُم أنْ يَسْمَعوا.
وجاءَ مُضْطَرِبَ العِنانِ: مُنْهَزِماً مُنْفَرِداً.
وضَرَّبَ تَضْريباً: تَعَرَّضَ للثَّلْجِ، وشَرِبَ الضَّريبَ،
و~ عَيْنُه: غارَتْ.
وأضْرَبَ القَوْمُ: وَقَعَ عليهم الصَّقيعُ،
و~ السَّموم الماءَ: أنْشَفَه الأرضَ،
و~ الخُبْزُ: نَضِجَ.
وضارَبَه فَضَرَبَه، كَنَصَره: غَلَبَه في الضَّرْبِ

"PENYEMBELIHAN" AYAH RASUL

"Aku adalah putra dua manusia yang nyaris disembelih," demikian Nabi saw. bersabda. Yang dimaksud dengan dua manusia itu adalah Nabi Ismā'īl as. yang nyaris disembelih oleh Nabi Ibrāhīm as. dan 'Abdullāh, ayah beliau sendiri, yang nyaris disembelih oleh 'Abd al-Muththalib, kakek beliau.

Oleh para ulama, hadits di atas masih diperselisihkan keshahihannya. Namun, ia memiliki memiliki kandungan yang sebangun dengan riwayat-riwayat lain yang menceritakan tentang rencana penyembelihan 'Abdullāh oleh 'Abd al-Muththalib. Banyaknya riwayat yang berkaitan dengan hal ini membuat ia tidak selayaknya ditolak begitu saja.

Kisah ini diawali oleh nazar 'abd al-Muththalib. "Demi Allah, jika aku dianugerahi Allah sepuluh orang anak lelaki, niscaya aku akan mempersembahkan salah seorang dari mereka ke Ka'bah," nazarnya, suatu saat. Kelahiran 'Abdullāh, ayah Nabi saw., benar-benar menggenapkan putra lelaki 'Abd al-Muththalib menjadi sepuluh. Maka, sebagai seorang tokoh Mekkah yang religius, disiplin, dan teguh memegang komitmen, serta setelah semua anaknya itu dewasa, iapun bermaksud menunaikan nazarnya.

Hasil undian yang ia lakukan untuk menetapkan siapa di antara anaknya yang akan disembelih selalu menunjuk ke 'Abdullāh. Maka, 'Abd al-Muththalib pun berketetapan hati untuk mempersembahkan 'Abdullāh. Namun, saat pisau untuk menyembelih telah digenggam dan 'Abdullāh telah digandeng, masyarakat Mekkah mencegahnya. Mereka membujuk 'Abd al-Muththalib agar ia meminta petunjuk terlebih dahulu dari seorang kâhin (peramal atau orang pintar) di Khaibar.

Di kalangan masyarakat Jahiliyyah, peran seorang kâhin (peramal atau orang pintar) memang sangatlah penting. Karenanya, 'Abd al-Muththalib menyetujui usul orang-orang Mekkah itu. Ia pun berangkat ke Khaibar, menemui seorang kāhir terkenal yang tinggal di sana.

"Undilah sang anak dengan sepuluh ekor unta. Jangan pernah berhenti menambah setiap kali undiannya dengan sepuluh ekor lainnya sampai undian memilih unta!," demikian kâhin di Khaibar itu memberinya petunjuk.

'Abd al-Muthallib melaksanakan petunjuk itu. 'Abdulah diundi kembali dengam sepuluh ekor unta. Setiap kali hasil undian menunjuk ke 'Abdullah, undian diulang kembali dengan menambahkan lagi sepuluh ekor unta. Demikian hal itu dilakukan hingga undian yang ke sepuluh. Dengan kata lain, 'Abd al-Muththalib harus mengganti 'Abdullāh dengan seratus ekor unta agar ia terbebas dari nazarnya. Karena masih belum puas, undian setelah yang kesepuluh masih diulangnya kembali dengan hasil yang sama.

Sekali lagi, riwayat tentang rencana penyembelihan 'Abdullāh adalah riwayat yang sangat banyak dan populer. Karena itu, kisah ini tidak dapat ditolak begitu saja. Namun, kepergian 'Abd al-Muththalib ke Khaibar untuk menemui seorang kâhin masih perlu diteliti lebih jauh karena ia dapat dinilai sebagai sesuatu yang terlalu merendahkan masyarakat Mekkah. Di Mekkah, seolah-olah, tidak ada orang pintar atau, jikapun ada, mutu kepintarannya lebih rendah.

-------------------
Membaca Ulang Sirah Nabi saw. tentang "Penyembelihan 'Abdullāh Ibn 'Abd al-Muththalib

DAHSYAT NYA BAHASA AL-QUR'AN

Al-Qur'an adalah bukti nyata mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita saksikan dan buktikan. Banyak sekali mukjizat Al-Qur'an yang telah dibuktikan secara scientific (ilmiah). Kali ini saya hanya ingin sedikit menggambarkan betapa dahsyat nya mukjizat Al-Qur'an dari segi bahasa.

Dari mulai pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa yang ada di dalam nya. Bahasa arab adalah bahasa yang sangat kaya. Itu dapat dilihat antara lain dari jumlah kosa katanya yang mencapai 25 juta dan sinonim kata yg sangat banyak pula. Sebagai penggambar saja, ada 60 kata yang menunjuk ke makna "tinggi", 80 kata ke makna "madu", 200 kata ke makna "ular", 500 kata ke makna "singa", 1000 kata ke makna "pedang", 5644 kata ke makna "unta" dan keadaan-keadaan nya.

Inilah antara lain kenapa Allah memilih bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur'an. Dengan segala keunikan dan kekayaan nya, hanya bahasa inilah yang mampu menampung pesan-pesan universal kitab suci ini.

Selain pemilihan bahasa yang sudah sangat luarbiasa. Penggunaan bahasa tersebut di dalamnya juga merupakan Mukjizat yg sangat dahsyat yg bisa pula dibuktikan.

Abdurrazaq Nawfal dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari 3 jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keajaiban di dalam Al-Qur"an. Dari sekian banyak mukjizat itu, saya akan mengutip beberapa yang membuat kita tercengang, berkaitan dengan keseimbangan kata atau kalimat yang di pakai/disebut di dalam Al-Qur'an.

*keseimbangan antara bilangan kata dengan antonim nya (lawan katanya).
1. Al-hayah (hidup) dan Al-Mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali.
2. Al-Naf' (manfaat) dan Al-madharrah (mudharat), masing-masing sebanyak 50 kali.
3. Al-har (panas) dan Al-bard (dingin), masing-masing sebanya 4 kali.
4. Al-shalihat (kebajikan) dan Al-sayyi'at (keburukan) masing-masing sebanya 1667 kali.
5. Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan Al-dhiq (kesempitan/kekesalan) masing-masing 13 kali.
6. Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali.
7. Al-Kufr (kekufuran) dan Al-iman (iman) dalam bentuk definite masing-masing 17 kali.
8. Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indefinite, masing-masing sebanya 8 kali.
9. Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin, masing-masing 1 kali.

*keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya (padanan katanya).
1. Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali.
2. Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing sebanyak 27 kali.
3. Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati jiwanya), masing-masing sebanyak 17 kali.
4. Al-qur'an, al-wahyu, dan al-Islam (Al-Qur'an, wahyu dan Islam), masing-masing sebanyak 17 kali.
5. Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali.
6. Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing sebanyak 16 kali.

*keseimbangan jumlah kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
1. Al-infaq (infaq) dengan al-ridha (kerelaan), sama-sama 73 kali.
2. Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), sama-sama 12 kali.
3. Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/pembakaran), sama-sama 154 kali.
4. Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak, sama-sama 32 kali.
5. Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), sama-sama 26 kali.

*keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.
1. Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing sebanyak 23 kali.
2. Al-maw'izahah (nasehat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing sebanyak 25 kali.
3. Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing sebanyak 6 kali.
4. Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing sebanyak 60 kali.

*keseimbangan-keseimbangan lain yang juga dahsyat.
1. Kata "Yawm" (hari) dalam bentuk tunggal disebut sebanyak 365 hari, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya 30, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Di sisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr), hanya terdapat 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
2. Al-Qur'an menjelaskan bahwa langit ada 7 lapis, penjelasan ini diulangi pula sebanyak 7 kali pula, yaitu terdapat dalam surat al-baqarah 29, al-isra' 44, al-mu'minun 86, fushshilat 12, al-thalaq 12, al-mulk 3, dan nuh 15.

Wallahu ta'ala a'lam.

TENTANG RUSA YANG KURUS DAN KAWANAN GAJAH

Inilah kisahnya: seekor rusa (sekali lagi: seekor!), dengan tanduk menjulang ke langitnya itu, maju ke medan tanding menghadapi sekelompok gajah yang kini berbaris rapi, dengan gading-gading tajam yang sudah terasah.

Ada mata air di ujung padang sana. Airnya jernih. Kemarau seringkali mengeringkannya. Apalagi sekarang ini, ketika mentari tidak lagi dapat diandalkan sebagai tumpuan. Ia malah turut ambil bagian dalam perang tanding yang terjadi di tengah padang itu, perang tanding antara seekor rusa dengan sekelompok gajah.

Aku ada di sana, mencoba mengais beberapa ciduk air yang masih tersisa. Kadang juga menyelinap ke tengah keriuhan tanding, lalu membawa pulang beberapa kantong yang dibawa oleh mereka: seekor rusa dan sekelompok gajah. Kupikir, kantong-kantong itu, akhirnya, akan tersia-siakan juga. Hasil tanding, apapun itu, akan membuat kedua pihak merasa lelah. Begitu lelahnya sampai-sampai kantong air itu bocor tanpa disadari.

Oh ya, tentang mentari itu, ia hanya menyerapnya, menguapkannya. Tapi, memang, tanpa ampun. Kelengahan bisa menjadi pintu lebar untuknya melakukan itu. Jangan harap ada yang tersisa. Ia bahkan mampu menyerapkan juga apa yang kutelan dan tersimpan di dalam lambungku.

Yah, begitulah. Kerakusan memang dasyat. Kerakusan membuat siapapun tak sudi berbagi. Kerakusan malah bisa membuat siapapun tidak mendapat apa-apa. Air pun menghilang, entah ke mana.

Pertarungan itu, sesungguhnya, tak perlu terjadi jika Sang Penguasa Hutan menjalankan tugasnya dengan baik. Ia bisa membuat selokan yang memajang dan berliku sehingga mencapai seluruh sudut. Air dapat mengalir dengannya, menyuburkan setiap pelosok. Semua dapat mencecapnya, bahkan sang mentari itu, yang sinarnya semakin terik saja, membakar rasa rakus dan haus yang sudah membara itu.

Pertarungan antara seekor rusa dengan sekelompok gajah itu masih belum berakhir. Aku mulai berinsut ke tengah, mengendap, perlahan, mencari ruang kelengahan...

BERPIKIR OUT OF THE BOX DARI PETAKA UHUD (KARENA INI BUKAN KEKALAHAN)

Pertempuran uhud memang populer sebagai pertempuran yang selama ini dipahami hampir sebagian besar kita dan kaum muslimin lain nya sebagai pertempuran yang menyisakan kekalahan besar dan telak dipihak kaum muslimin pada saat itu. 73 orang muslimin Syahid, termasuk Hamzah ra, paman Nabi SAW Sang Singa Allah. Kekalahan dan banyaknya korban yg jatuh dipihak pasukan Muslim itu dinilai mendemoralisasi Sahabat-sahabat Nabi SAW, sehingga kesedihan menyelimuti Madinah untuk beberapa waktu.

Namun benarkah demikian? Tentu jika kita ingin menelah lebih jauh, kesan dan anggapan kekalahan itu sesungguhnya tidaklah tepat. Sekian banyak riwayat menguraikan bahwa Abu Sofyan dan tentara Musyrik lah yang justru menjadi pihak yg pertama kali meninggalkan arena. Padahal, pertempuran belum berakhir!

Saat pasukan musyrik mulai kocar kacir, salah seorang panglima mereka, Khalid bin Walid, melakukan serangan balik yg mematikan. Ia memanfaatkan kosongnya garis pertahanan pasukan Muslim. Pasukan pemanah yg ditugaskan Nabi SAW untuk menjaga pertahanan belakang itu menyalahi perintah. Mereka meninggalkan posnya.

Akibatnya sangat fatal. Serangan balik Khalid bin Walid itu menebarkan petaka. Pertahanan pasukan Muslim pun hancur dan menjadi kocar-kacir. Demikian kacaunya sampai-sampai sejumlah pasukan Muslim termakan propaganda musuh, bahwa Nabi SAW telah terbunuh. Namun, sekalipun demikian, pertempuran masih terus berlangsung. Nabi SAW yang diisukan terbunuh itu masih bertahan memimpin pertempuran dg kawalan ketat sejumlah Sahabat.

Menganggap bahwa kemenangan sudah diraih, Abu sofyan dan pasukannya mundur dari medan tempur, padahal pasukan muslim masih bertahan, setelah sebelumnya melontarkan janji bahwa mereka akan kembali ke Badar tahun depan. Pasukan musyrik pulang ke Mekkah tanpa mendapatkan rampasan perang secuilpun dan tanpa tawanan seorangpun. Sementara itu, Rasul SAW dan pasukan Muslim tetap tinggal di Uhud menyelamatkan anggota pasukan yang terluka dan menguburkan mereka yang syahid.

Sekali lagi saya ingin tegaskan, jika pasukan Muslim tidaklah menderita kekalahan! Namun petaka jelas melanda karena syahidnya 73 orang, sementara itu, korban tewas dari pihak musyrik hanya 22 orang.

Apakah terjadi demoralisasi serta lari meninggalkan medan pertempuran dikalangan pasukan Muslimin pada saat itu? Tidak! Mereka tetap bertahan dg semangat mati syahid.

Sangat mudah dipahami kiranya, jika seandainya pihak Muslimlah yg menderita kekalahan, tidaklah mungkin sisa pasukan yg bertahan berkesempatan untuk menguburkan mayat-mayat syahid para syuhada, artinya mereka tetaplah menguasai medan Uhud, tanpa pernah beranjak lari dari pertempuran sampai batas akhir peperangan.

Bahkan satu hari setelahnya, Nabi SAW dan seluruh pasukannya berangkat kembali keluar Madinah setelah mendengar informasi bahwa Abu sofyan dan tentaranya akan menyerang kembali karena menyadari bahwa kemenangan memang belum diraih. Mendengar reaksi cepat Nabi SAW, Abu sofyan dan pasukannya pun membatalkan niat menyerang kembali. Mereka melanjutkan perjalanan pulangnya ke Mekkah.

Wallahu ta'ala a'lam.

(membaca ulang sirah Nabi SAW)

BENARKAH CERITA RASULULLAH DENGAN PENGEMIS YAHUDI BUTA?

Ketika kita searching di google dengan keyword "Rasulullah dan pengemis Yahudi Buta", maka dengan mudah kita akan menemukan artikel-artikel atau cerita yg berkaitan dengan Akhlak mulia Rasulullah terhadap seorang pengemis yahudi buta di sudut pasar Madinah, padahal beliau selalu dicaci olehnya.
Kemuliaan akhlak beliau semakin detail digambarkan dengan kesabaran dan kelembutan setiap pagi selalu mendatangi si pengemis untuk menyuapi makanan yang selalu beliau bawa dari rumah. Digambarkan pula bahwa ini menjadi rutinitas yang tidak pernah beliau lewatkan setiap harinya, bahkan sampai beliau wafat.

Tapi celakanya, tidak ada satu pun cerita yg banyak dinukil diberbagai blog dan artikel serta dari mulut ke mulut ini, mencantumkan sumber rujukan ilmiah/maraji' dari cerita yang sudah terlanjur masyhur ini.
Tidak pula menyebutkan perawi, lazim nya sebuah periwayatan yang mempunyai sanad lalu kemudian di sandarkan kepada Rasulullah SAW.

BUKANKAH AKHLAK RASULULLAH MEMANG BENAR MULIA?

Tidak ada yg pernah meragukan kemuliaan akhlak makhluk terbaik di seluruh penjuru Jagad raya yg bernama Muhammad SAW, tidak pula ada yg meragukan keindahan, kelembutan serta keagungan perilaku terhadap sesama makhluk, bahkan hewan sekalipun.
Akan tetapi tentu ini tidak serta merta pula menjadi hujjah akan sah nya cerita tersebut berasal dari Rasulullah.
Otentisitas atau orisinalitas perkataan yg keluar dari mulut Rasulullah atau perilaku dan perbuatan beliau semasa hidup nya menjadi sangatlah penting karena beliau sendiri pernah mengeluarkan ultimatum yg di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya "barangsiapa berdusta atas namaku, maka tempatnya dineraka".

Sehingga, tidaklah mengherankan jika sesuatu cerita atau riwayat yang disandarkan kepada beliau senantiasa haruslah terjamin akan keaslian atau otentisitas nya.

Tidak ada 1 pun literatur dari kitab-kitab hadits terkenal yg pernah saya temui , menukil riwayat Rasulullah dan Pengemis Yahudi Buta di sudut pasar Madinah. Setidak nya sampai saat ini.
Sehingga cerita ini merupakan cerita yg tidak tau asal muasal nya atau la asala lahu (tidak mempunyai asal).

Ada banyak pula kejanggalan dari matan/isi cerita yg sekilas tidak kita sadari.
Dari mulai kejanggalan tidak ada 1 pun sahabat Rasulullah yg tahu akan kebiasaan Rasul yg setiap hari mendatangi pengemis tersebut, dan terasa janggal pula jika di suasana pasar yg begitu ramai tidak ada yg menyadari kehadiran beliau, atau diam dan cuek ketika Rasul di caci maki oleh sang Pengemis.
Sangat mengherankan pula, sepeninggal beliau, Abu bakar yg kemudian menggantikan kebiasaan beliau untuk menyuapi si Pengemis harus berdusta ketika ditanya si Yahudi "siapakah engkau?" lalu Abu bakar menjawab "aku adalah orang yg biasa menyuapimu".

Bukankah Abu bakar adalah sahabat Nabi yg tidak ada 1 orang pun pada masa itu meragukan kejujuranya? Bukan kah sebab kejujuran nya itu pula beliau menyandang gelar as shidiq?
Kejanggalan-kejanggalan ini pula lah yg membuat saya pada mulanya berusaha mencari kebenaran riwayat yg berkaitan dg cerita ini dari berbagai literatur kitab hadits. Tapi hasil nya Nihil.

Setidak nya ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, untuk tidak ceroboh menukil berbagai cerita, terlebih jika disandarkan Kepada Rasulullah SAW.
Wallahu ta'ala a'lam.

"MEMBELA IBLIS"

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla, Sholawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarganya, para Sahabatnya Rhodiallahu ‘anhum dan umatnya yang setia hingga hari kiamat kelak.
Sebagaimana Firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Quran Surat Al A’rof : 16
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,
Maka sesuai janjinya itu setan benar-benar akan melancarkan berbagai cara untuk menggelincirkan orang beriman, salah satu cara mereka adalah dengan mempengaruhi pikiran-pikiran manusia dengan logika dan rasionalistasnya yang seakan itulah kebenaran.
Permainan rasionalitas ini sering saya dapati ketika berdiskusi dengan teman-teman yang hobi filsafat yang segala sesuatunya serba difilosofikan, namun sering kali mereka terjebak dalam logika-logikanya sendiri kemudian menjadikan perdebatan tanpa usai.
Bukan rahasia jika para filsuf ada yang berdebat sampai akhir hayatnya tanpa bertemu pada titik yang bisa dikompromikan, bahkan masalah telur dengan ayam saja diperdebatkan siapa yang lebih dulu.
Ada satu pembahasan yang pernah saya diskusikan dengan mereka yaitu tentang iblis yang menurut mereka, iblis itu makhluk yang paling benar tauhidnya karena tidak mau sujud kepada Adam dan hanya mau bersujud kepada Alloh.
Salah satu contoh tafsir yang insya Allah akan saya jelaskan dalam catatan pendek ini adalah tentang ‘Iblis yang diusir dari Surga Padahal dia tidak bersalah
Benarkah iblis tidak bersalah?
Mari kita bahas, Allah Azza wa Jalla berfirman :
(QS. Al-Baqarah : 34) Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Mereka mengatakan bahwa iblis itu tidak sujud karena memang Allah tidak menyuruhnya sujud, lalu kenapa Allah mengusir iblis dari surga? padahal jelas sekali dalam ayat itu dikatakan, ‘…berfirman kepada malaikat…’ iblis tidak disuruh.
Padahal jika kita perhatikan ayat Al-Quran yang lain, Allah berfirman :
(QS. Al A’raaf : 12) Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Dalam ayat itu jelas sekali ketika Allah bertanya kepada iblis kenapa dia tidak mau sujud, ternyata iblis tidak menjawab ‘Engkau tidak menyuruh kami’, tapi mereka menjawab, “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Ini saja sudah suatu isyarat bahwa iblis pun mengakui jika dirinya itu masuk dalam perintah untuk sujud namun dia merasa enggan dan sombong, jika memang tidak disuruh kenapa iblis tidak membangkang dengan bantahan, “Engkau tidak menyuruh kami Yaa Allah”
Dari ayat tersebut juga kita bisa mengambil suatu pelajaran bahwa, jika seorang yang memang dalam hatinya sudah ada jiwa pembangkang dan dia mengajak kita untuk berdebat tentang hukum Allah, maka tinggalkanlah dia karena pada dasarnya perdebatan itu bukan untuk mencari kebenaran melainkan hanya alasan untuk membangkang.
Sehingga Allah pun ketika iblis mengajak berdebat dengan mengatakan, “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Allah menjawab dengan FirmanNya dalam Quran surat Al A’roof : 13,
Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.”
Allah tidak meladeni iblis untuk berdebat, padahal jika mau berdebat sangat bisa, coba kita renungkan, apakah benar api lebih baik dari tanah?
Kita ambil satu contoh, jika Allah turunkan hujan dari langit dan mengenai api, maka api itu akan padam. Bandingkan dengan air hujan yang mengenai tanah, itu akan menumbuhkan tanaman dan buah-buahan sebagai sumber kehidupan manusia, jadi apa benar apai lebih baik dari tanah?
Kembali ke pembahasan, lalu kenapa dalam ayat itu Allah hanya berfirman kepada malaikat, apakah iblis termasuk malaikat?
Iblis bukan termasuk dalam golongan malaikat sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu.

Beliau menyatakan: “Iblis tidak pernah menjadi golongan malaikat sekejap matapun sama sekali. Dan dia benar-benar asal-usul jin, sebagaimana Adam adalah asal-usul manusia.”
(Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsir surat Al-Kahfi ayat 50, dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya)
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Rabbnya.” (Al-Kahfi ayat 50)
Juga Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu mengatakan:
“Iblis adalah abul jin (bapak para jin).”
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 406 dan 793)
Dalam pembahasan ini para ulama menjelaskan bahwa dalam Firman Allah surat Al-Baqoroh : 34, Allah memerintahkan sujud kepada Malaikat tetapi termasuk perintah untuk Jin yang ada saat itu, karena penyebutan terhadap sesuatu yang lebih utama (malaikat) itu berarti perintah juga untuk sesuatu yang ada dibawah malaikat, yaitu para jin (secara terminologi, iblis itu berarti makhluk yang terusir).
Jika saya ibaratkan, malaikat adalah pimpinannya, jadi jika pimpinannya sujud maka anak buahnya harus sujud juga.
Kesimpulannya adalah Iblis saja mengakui bahwa dirinya diperintah untuk bersujud. Penyebutan perintah terhadap malaikat termasuk juga perintah untuk iblis, tetapi bukan berarti iblis termasuk golongan malaikat.
Pada hakikatnya menjalankan perintah Allah adalah suatu kebaikan walaupun dari tinjauan kita mungkin itu suatu yang tidak baik (menyuruh sujud kepada selain-Nya), tapi bukankah Allah juga pernah memerintahkan Nabi Ibrohim untuk menyembelih anak tersayangnya?
Itulah hakikat ketaatan, jangan diukur dengan logika sederhana kita.
Wallahu ta'ala a’lam

BENARKAH IA BERNAMA "IZRAIL"?

Sudah sangat masyhur dikalangan masyarakat dan umat islam pada umumnya mengenal nama Izrail sebagai nama seorang Malaikat yang disehari mandat oleh Allah SWT sebagai pemutus kenikmatan duniawi setiap makhluk, atau pencabut nyawa. Bahkan nama ini kian masyhur ditengah masyarakat kita, dan semakin lekat sebagai nama malaikat Pencabut nyawa ketika ia muncul dibeberapa syair lalu Religius.

Namun ternyata penamaan tersebut sama sekali tidak pernah disebut di dalam alqur'an maupun Hadits Nabi SAW. Tidak satupun dari dua sumber utama ini yg merujuk Nama "Izrail" sebagai nama malaikat pencabut nyawa.

Ibnu Katsir sendiri dalam Al bidayah Wal hinayah mengatakan bahwa "Izrail" tidak pernah disebutkan secara tegas sebagai nama Malaikat yg diserahi tugas untuk mencabut nyawa, baik dalam Alqur'an maupun Hadits Nabi SAW, ia hanya disebut dalam sejumlah atsar. Hal senada juga dikuatkan munawi dalam Faidul Qadir dan As sanadi. Bahkan syaikh albani dan utsaimin sendiri memiliki pendapat yg lebih keras berkaitan dengan ini, beliau mengatakan penamaan "Izrail" sendiri berasal dari kisah-kisah Israiliyat yang sama sekali kita tidak dituntut untuk mengimaninya.

Lantas siapakah nama malaikat tersebut?
Jika kita merujuk dalam As Sajdah ayat 11, Allah SWT tidak pernah menyebut secara spesifik akan nama khusus akan malaikat ini, hanya menyebut bahwa malaikat tersebut bernama "Malakul Maut".

Wallahu ta'ala a'lam

TENTANG KESENDIRIANKU MAK

Jangan heran jika sampai sekarang aku masih senang dengan kesendirianku, mak. Aku tidak tertarik dengan wanita tanpa karakter. Karena aku tidak akan bisa selalu ada, dan itu mustahil. Tak akan bisa terus-terusan memvalidasi perasaan anak gadis orang. Apalagi kalau sekiranya labil, terlalu banyak insecure, perlu banyak diperhatikan. Aku merindukan wanita tangguh, bukan tipe peratap. Bukan tipe dimana aplikasi messenger dan sosial medianya berisi keluhan demi keluhan. Bukannya aku sombong, sok tinggi atau pilih-pilih mak, sungguh tidak.

Karena aku mau pergi berperang, mak. Ada sesuatu yang masih dan harus aku lakukan, bukan sekedar hore-hore, senang-senang terus-terusan. Aku perlu seorang gadis yang tangguh, seseorang yang kuat, bisa sendiri, bahkan nanti ketika aku tidak bisa ada buat dia. Aku perlu seseorang yang bisa ku andalkan, dan sebaliknya, akupun harus sama seperti itu buat dia.

Aku tidak bisa, kalau salah satu dari kami cuma jadi penghambat langkah yang lain. Karenanya, ada hal-hal yang tidak bisa dan aku masih sendiri. Bukan masalah gadis cantik, baik, ramah atau hanya sekedar sholehah, tidak mak, sungguh bukan itu. Anakmu ini perlu seseorang yang bisa bertempur di sisiku, mak. Bukan yang justru meninggalkanku ketika aku butuh suatu dorongan.

Ya, dia sepertimu, mak. Wanita berhati lembut, berjiwa karang

BAHAGIA ITU SEDERHANA, TAPI........

Kali ini saya ingin membuat sebuah tulisan tentah kata "Bahagia", bukan deskripsi panjang lebar, rumit, berbelit-belit. Tapi deskripsi yang sederhana, sesederhana kebahagiaan yang sering dipahami orang-orang. "bahagia itu sederhana" tutur mereka.

Kalau orang-orang sering mengatakan "bahagia itu sederhana", maka saya akan menambahnya dengan kalimat jika "bahagia itu sederhana, maka kesederhanaan itu tidak lah sederhana".

Hampir semua orang mungkin bisa bahagia dengan naik mobil, motor atau kendaraan mewah lainnya, yg bahagia dengan hanya naik sepeda? Hanya orang-orang tertentu. Hampir semua mungkin akan bahagia dengan makanan mahal dan berlimpah, tapi mungkin, hanya penyanyi dangdut sekelas Hamdan ATT (maaf kalau referensinya maksa) yg bisa bahagia makan sepiring berdua. Kebahagiaan seringkali bias dengan kepuasan, dan kepuasan manusia itu tidak ada batasnya. Sehingga jika patokan sebuah kebahagian itu adalah kepuasan, ada kemungkinan jika seseorang tidak akan pernah bahagia seumur hidupnya. Itu! (sambil jari telunjuk nunjuk, kaya mario teguh :D )

kebahagiaan adalah sesuatu yg tidak bisa diukur. Itu sebabnya seseorang dan siapa saja dengan sangat mudah bisa mengklaim bahwa dirinya bahagia. Kecantikan masih bisa diukur, setidaknya ada kontes kecantikan. Kecerdasan masih bisa diukur, ada satuan IQ salah satunya. Kekayaan? Mudah sekali, berapa total aset yang kamu miliki, tapi kebahagiaan? Tidak bisa! Sehingga sangat mudah untuk mengklaimnya. "dasar kamu bodoh, miskin, jelek lagi" | "yang penting aku bahagia", perkara selesai!

Kebahagiaan apakah berdasarkan kepuasan? Karena kepuasan itu tolak ukurnya adalah selera, sedangkan kebanyakan kita seleranya terkadang jauh melampaui kemampuan dan keadaan. Lantas apakah mereka yang memiliki selera sederhana itu lalu tidak bahagia? Tentu tidak demikian bukan?

Kebahagian itu tergantung kepada bagai mana, dan seperti apa kita menikmati apa yang ada, jika kebahagiaan itu sederhana, maka kesederhanaan yang disyukuri, itulah yg membuat bahagia.

KEDAMAIAN PASIF

Kedamaian pasif atau "as-salam as-salabi" adalah batas diantara keharmonisan dan perpisahan.
Kedamaian pasif dibangun dg cara mengindahkan perintah-perintah berstruktur pasif, yg banyak disampaikan Allah SWT dan Rasulnya. Perintah berstruktur pasif ditandai dengan, antara lain, penggunaan partikel "la an-nahiyah" yg berarti "jangan", sebutlah misalnya sabda Rasul sebagaimana diriwayatkan Muslim, "janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, saling menajiskan, dan saling memusuhi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yg bersaudara. Seseorang Muslim tidak halal meninggalkan saudaranya lebih dari tiga hari"

pesan yg dapat dipetik dari perintah berstruktur pasif ini antara lain, adalah : jika seseorang tak dapat atau tak mau melakukan "itu", maka setidaknya, janganlah ia melakukan "ini". Jika ia misalnya, belum atau tak dapat menyayangi, janganlah ia membenci, jika tak dapat mengawani, jangan memusuhi. Jika tak dapat meringankan beban orang lain, jangan menambah bebannya. Jika tak dapat memuji jangan menghina. Jika tak dapat berbicara santun jangan berbicara kasar. Jika tak dapat memberi senyum. Jangan bermuka masam. "seorang Muslim adalah ia yg orang-orang Muslim lainnya selamat dari (keburukan karena ulah) lidah dan tangannya, demikian ingat Nabi SAW.

Dengan demikian kedamaian pasif atau as-salam as-salabi adalah pondasi yg harus dibangun kuat oleh seseorang agar kedamaian aktif atau "as-salam al-ijabi" dapat ia upayakan. Kedamaian aktif ia bangun dg cara melaksanakan perintah-perintah berstruktur aktif yg disampaikan Allah SWT, seperti "bacalah", "sambungkanlah", "sebarkanlah", "makanlah", "minumlah", "perhatikanlah", "ubahlah", "bagikanlah", dll.

Kedamaian pasif dan kedamaian aktif yg terbangun secara kuat akan membukakan jalan bagi seseorang untuk bergerak ketahap berikutnya, yaitu "al-ihsan". Ketika seseorang berbuat baik semata-mata karena dirinya, seolah-olah melihat Allah atau Allah melihatnya. Seorang pelaku "al-ihsan" akan menyingkirkan sepotong duri di tengah jalan tanpa peduli apakah itu akan dihargai oleh orang lain ataupun tidak. Seorang pelaku "al-ihsan" akan tetap konsisten melakukan kebajikan sekalipun orang lain tak membalasnya dg kebajikan yg sama.

Demikian banyak orang yg "karier" amal baktinya dimundurkan kembali jauh kebelakang atau malah ambruk sama sekali, karena "kedamaian aktif" yg ia wujudkan dalam amal bakti aktifnya, baik horizontal maupun vertikal, ternyata, berpondasi rapuh, atau malah suatu kepura-puraan belaka.

Disebut berpondasi rapuh, karena ia, misalnya, berhenti melakukan amal baik ketika merasa orang lain tak menghargainya atau karena orang lain melakukan sebaliknya. Disebut kepura-puraan karena ia, misalnya, beramal baik karena motif ingin mendapatkan keuntungan yg lebih besar atau, bahkan, ia beramal baik di satu sisi, sekaligus beramal buruk di sisi lain.

Astaghfirullah rabbal baraya, astagfirullah minal khathaya.

BALADA FACEBOOK (BEDA PENDAPAT, BLOKIR BERTINDAK)

Tulisan ini saya buat didasari karena keprihatinan terhadap sikap seorang guru/dosen yg saya sangat menaruh hormat kepada beliau dalam segala hal. Bermula ketika tidak menjumpai lagi status-status, pemikiran-pemikiran beliau di beranda facebook dan komentar-komentar beliau yg seringkali mampir di beberapa status saya, setelah mencari tahu. Ternyata beliau memblokir akun saya. Bukan kapasitas saya tentunya dalam tulisan ini untuk menjelaskan lebih jauh kenapa sampai beliau melakukan pemblokiran. Mungkin jika bertemu, saya akan tanyakan langsung kepada beliau.

Akan tetapi di luar motif kenapa dan kenapa yg masih menyisakan tanya, saya sedikit ingin membahas tentang perbedaan pendapat.

Saya dibesarkan di lingkungan keluarga yg heterogen dalam hal kesukuan, multikultur yang egaliter, bapak banjar dan ibu jawa. Sehingga tidak mengherankan jika perbedaan pendapat seringkali terjadi, entah antara kedua orangtua, anak dan orangtua, atau adik dengan kakak kandung, biasa-biasa saja. Tidak putus hubungan karena beda pendapat.
Berangkat dari sanalah jika pada akhirnya saya sudah terbiasa bahkan tidak pernah sungkan untuk berbeda pendapat dengan siapapun, termasuk dengan teman sejawat, bahkan seorang yg pernah menjadi dosen saya sekalipun.
Waktu kuliah biasa saja saya berbeda pendapat dengan dosen, terutama dosen yg terbiasa berpikir dan bersikap egaliter, membuka ruang, wellcome serta tak marah untuk berbeda pendapat dengan mahasiswa. Seringkali saya selalu berbeda pendapat dengan dosen, ketika merasa mempunyai "amunisi" yang lebih argumentatif ketimbang pendapat yang beliau sampaikan, lalu kemudian ditimpali dengan argumen yang tidak kalah masuk akal pula oleh dosen yang bersangkutan. Seringkali suasana seperti ini saya jumpai semasa kuliah. Ada beberapa dosen yang memberikan apresiasi terhadap mahasiswa yang selalu bersikap kritis disertai dasar yang jelas dan masuk akal, tidak jarang pula sebagian dari mereka menutup kesempatan untuk berbeda pendapat.

Di facebook pun tidak terkecuali, saya tak sungkan pula berbeda pendapat, dengan teman dekat sekalipun, bahkan beberapa teman yang dalam banyak hal dan moment selalu saling mendukung dan sepaham. Dari sinilah akan diuji kedewasaan, apakah dendam atau tidak atas sebuah perbedaan, waktu yang akan membuktikan.

Sesama teman seagama saja bisa saling berbeda pendapat, tidak sekali dua saya berbeda pendapat dengan bang Oyonk Maldini. Namun tak menghilangkan nalar dan tetap saling menghormati, serta tidak mengurangi kekaguman saya dalam banyak hal lain nya. Sangat penting membiasakan diri dalam perbedaan pendapat atau perbedaan paham, paham apapun. Karena realitas kehidupan ini memang penuh perbedaan. Terbayang betapa menyiksanya hidup jika anti perbedaan. Semua maunya seragam, termasuk seragam dalam pendapat. Wah bisa bahaya.

Satu-satunya jenis perbedaan pendapat yang tidak saya tolerir adalah bila sampai menyerang pribadi atau bukan fokus pada argumen (argumentum ed hominem). Saya tak sungkan "menendang" keluar arena diskusi orang-orang yang gemar menghina pribadi, caci maki, hujatan, sumpah serapah, tanpa dasar yang jelas. Bahkan dalam beberapa kesempatan juga sampai tahap pemblokiran jika dinilai sudah sangat mengganggu dan menghindarkan dari pertengkaran yang lebih besar. Walaupun dalam banyak kesempatan, saya memilih diam dan membiarkan. Diluar itu bebas saja, mau berbeda pendapat atau mendebat postingan saya, mau sampai jungkir balik pun beda pendapat dipersilahkan dan sangat menyenangkan. Terlalu "kekanak-kanakan" dan berlebihan jika pada akhirnya perbedaan pendapat yang sangat wajar berujung pada pemblokiran, apalagi jika itu dilakukan seorang akademisi dan seorang dosen. Fokus pada argumen dan tidak argumentum ed hominem, itu kuncinya.

Wallahu ta'ala a'lam.

UMMI BUKANLAH SUATU KEKURANGAN


Masyarakat Jazirah Arab sangat menjunjung tinggi budaya hafalan. Kemampuan mereka dalam hal ini sangat mengagumkan. Demikian mengagumkannya sampai-sampai "qulūbuhum mashāhifahum" (kalbu mereka adalah bagaikan lembaran kertas), demikian Ka'ab al-Ahbar mengilustrasikannya. Di kalangan mereka, seseorang yang memiliki kemampuan menghafal yang baik akan diposisikan mulia.

Karena budaya hafalan ini, ditambah dengan sulitnya mendapatkan alat tulis menulis, budaya menulis dan membaca tidaklah dominan. Bagi beberapa kalangan, memiliki kemampuan menulis dan membaca malah dianggap sebagai sebuah kekurangan, bahkan aib! Karena itu, adalah keliru siapapun yang menilai bahwa keadaan Nabi saw. yang "ummī" (tidak dapat membaca dan menulis) adalah berarti adanya kekurangan pada diri beliau. Di zaman kita sekarang, ketidakmampuan seseorang dalam membaca dan menulis memang sebuah kekurangan, namun tidak demikian halnya di zaman itu.

Walaupun demikian, itu tidak berarti bahwa budaya menulis dan membaca tidak tumbuh sama sekali. Sejumlah kalangan masyarakat Arab tetap memiliki kemampuan itu. Seorang peneliti, misalnya, menemukan sebuah manuskrip tertulis yang berisi perjanjian utang piutang antara Hâsyim, kakek Nabi saw., dengan mitra dagangnya. Lalu, di dinding Ka'bah, tergantung pula al-mu'allaqât, yaitu puisi-puisi terbaik karya para penyair Mekkah. Dua contoh itu menjadi bukti bahwa tetap ada sejumlah pihak di zaman itu yang mementingkan tulis menulis walaupun, sekali lagi, budaya itu tidak dominan.

Harus dicatat bahwa budaya hafalan ini tidak selalu berarti buruk. Di kemudian hari, kemampuan menghafal mereka yang mengagumkan ini memiliki peran sangat penting dalam penjagaan dan pelestarian al-Qur'ân.

-------

Membaca Ulang Sirah Nabi saw. tentang "Ummī Bukanlah Suatu Kekurangan."