Ini kisah seekor kucing yang pernah saya kenal saat kecil dahulu.
Si Itam, demikian saya dan keluarga menjulukinya; seekor kucing galak
bertampang sangar kesayangan Abang Saya, Muhammad Taufik. Tubuh kucing
itu sedikit besar melebihi rata-rata tubuh belasan kucing lainnya yang
berkoloni di tempat kediaman kami dulu. Bulu-bulunya tebal berwarna
hitam-legam (itu pulalah yang kemudian melatarbelakangi julukannya "si
Itam") kecuali bola mata –dengan tetap ada bulatan hitam di tengahnya–
dan keempat telapak kakinya. Kedua matanya selalu menatap tajam,
penuh curiga, dan sangat awas mengamati keadaan di sekitarnya.
Muhammad Taufik, Abang saya itu, sering terlihat memangku si Itam
ke mana-mana sambil mengelus-elus bulunya yang tebal itu. Jika Ia
makan, kucing itu sering ada di sampingnya, turut menikmati "Jatah"
setiap kali ia makan, makannya: campuran antara nasi dan serpihan
ikan asin.
Di siang hari, Si Itam jarang sekali terlihat. Sekali muncul, dia
selalu berada di tempat-tempat tinggi seperti atap rumah,
langit-langit rumah, atau di atas lemari. Jarang sekali dia
berjalan-jalan di lantai atau di permukaan tanah.
Di malam hari, Itam sering “duduk” manis dan berjaga di atas lemari
tua di kamar Mamak. Saya, yang dulu setiap malam tidur di kamar itu,
selalu merasa takut kepadanya. Tatapan kedua matanya selalu penuh
permusuhan.
Itam adalah kucing “bernyawa sembilan.” Kemampuannya meloloskan
diri dari maut sangatlah luar biasa. Saya dan keluarga, juga
orang-orang, tidak suka kepadanya dan, karena itu, kami sering memburu
dan berusaha menangkapnya. Orang-orang malah berusaha membunuhnya
berkali-kali. Ketidaksukaan kami kepada Itam dipicu oleh kebiasaan
buruknya mencuri makanan di atas meja makan, dirumah kami bahkan
tetangga.
Sekalipun sayang kepada Itam, Taufik, abang saya tidak pernah
menegur, apalagi marah, jika saya, Kakak, Abang yang lainnya, atau
orang-orang memburunya. Dia hanya tersenyum dan malahan, seolah, berkata
“silahkan saja tangkap kalau bisa!.” Itam memang sangat lihai dan
cerdik. Kecepatannya berlari sangat luar biasa. Perburuan-perburuan kami
selalu saja gagal.
Namun, selihai-lihainya Itam menyelamatkan diri, pada akhirnya,
nasib malang pun menimpa. Demikianlah, suatu siang, saya melihat
seorang pria –saya lupa namanya– menyeret-nyeret, tanpa belas kasihan,
seekor kucing dengan tali tambang. Kucing itu adalah Itam. Di ujung
tali, dia terlihat menyerah, tidak mampu lagi meloloskan diri dari
tali yang menjerat lehernya. Saya bersorak, namun juga merasa iba
kepadanya karena perlakuan kejam pria itu. Dalam hati, saya
bertanya-tanya bagaimana cara pria itu menangkap Itam?
Tanpa peduli dengan tatapan iba saya, pria itu terus menyeret Itam
ke sebuah jembatan di Parit Sebelah. Lalu, dengan semangat,
dilemparkanlah kucing itu ke Pariti yang mengalir di bawah. Tidak ayal
lagi, ir parit yang sedang naik karena banjir itu melumatnya tanpa
ampun. Itam, terlihat, berusaha berenang, namun gagal. Ia pun
tenggelam dan tidak muncul lagi ke permukaan air. “Tamatlah riwayat
Itam,” pikir saya, sedih. Pria itu tersenyum puas, lalu meninggalkan
jembatan.
Tahukah apa yang terjadi malam harinya? Bukan, bukan malapetaka
atau semacamnya. Inilah yang terjadi: malam hari, saya masuk ke kamar
Mamak untuk tidur. Ketika merebahkan tubuh di kasur, lalu mengarahkan
padangan ke bagian atas lemari, saya melihat Itam sedang nangkring dan
“duduk” manis seperti biasanya!Allahu Akbar , bagaimana kucing itu
bisa ada di sana? Bukankah seharusnya dia mati ditelan parit yang
airnya sedang menderas itu? mamak pun hanya tersenyum menyaksikan.
Bagaimana cara dia melepaskan tali tambang yang menjerat erat
lehernya?
Itulah, antara lain, kehebatan Itam yang pertama. Yang kedua, kisah
tetangga saya, yang juga pernah berhasil menangkapnya, memasukkannya
ke dalam karung, lalu membawanya ke Pasar untuk dibuang. Jarak Pasar
dari rumah saya di Sei Beringin berkilo-kilo meter jauhnya. Tetangga
saya itu berharap Itam akan mendapatkan tempat tinggal baru di sana dan
kami terbebas dari kenakalan-kenakalannya yang menjengkelkan itu.
Tahukah apa yang terjadi malam harinya? Ya, tepat! Saat saya masuk
ke kamar mamak untuk tidur, kucing itu, lagi-lagi, tampak sedang
nangkring dan “duduk” manis di atas lemari! Artinya, Itam berhasil
pulang dari tempat pembuangannya, menempuh jarak sejauh
berkilo-kilometer tanpa tersesat.
Untuk mengobati kekesalan kami terhadap kucing kesayangannya itu,
Muhammad Taufik, Abang saya pun mengajak saya untuk membuangnya
bersama-sama. Demikianlah, kami berhasil menangkapnya. Tidak sulit bagi
Abang saya ini menangkap Si Itam karena ia memang jinak kepadanya.
si Itam Kami bawa jauh dari lokasi pembuangan yang pertama, melewati
Pasar, menelusuri sepanjang jalan Telaga Biru, tepatnya di Parit 6
Tembilahan Hulu kami berhenti. Si Itam itu seolah menatap kami.“Serius,
nih, Bos? Kita harus turun di sini?,” demikian ia, seolah-olah,
berkata.
Ada rasa iba saat kami menatapnya. Namun, keputusan sudah dibuat. si
Itam, harus turun di sini. Kami tidak khawatir kucing itu akan
kelaparan karena sekitar seratus meter dari tempat itu ada sebuah
perkampungan yang cukup padat. Motorpun meluncur meninggalkannya.
Tahukah apa yang terjadi malam harinya? Ya, tepat! Hal mengherankan
itu, lagi-lagi terjadi. Kucing-kucing lain mungkin mustahil untuk
dapat kembali, namun Itam? Ia berhasil pulang menempuh jarak hampir
puluhan kilo meter! Saya menggeleng-gelengkan kepala sementara Abang
saya tersenyum-senyum.
Balada si Itam ini masih berlanjut untuk beberapa bulan kemudian
hingga kisahnya, secara perlahan, tenggelam begitu saja. Diawali oleh
mulai tidak tampaknya dia selama beberapa malam di atas lemari Kamar
mamak. Saya tidak terlalu peduli dengan itu. Kami baru menyadari bahwa
ada sesuatu terjadi padanya ketika kucing itu betul-betul tidak
pernah terlihat lagi. Itam menghilang entah ke mana. Abang saya pun
tidak tahu ke mana dia pergi. Barulah lama setelah itu kami mendengar
kabar bahwa Itam telah mati. Seseorang, katanya, berhasil membunuhnya.
Entahlah…