SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Kamis, 20 Agustus 2020

MUHARRAM, HIJRAH DAN KEPERGIAN NABI

Hijrah bukan lah peristiwa yang berdiri sendiri. Bukan pula terjadi pada awal Muharam seperti yang masyhur kita pahami selama ini.

Prosesinya telah dimulai tak lama setelah terjadinya Bai'ah Aqabah II, jauh sebelum hijrahnya Nabi saw. sendiri dari Mekkah ke Madinah. Ketika itu, bulan Dzul Hijjah, tahun ketiga belas kenabian, 73 orang penduduk Madinah, dua di antaranya wanita, bertemu dengan Nabi saw. Secara rahasia, lalu mengikrarkan sumpah setia yang berisi, antara lain, janji memberi perlindungan optimal jika beliau dan para sahabat berhijrah ke kota mereka. Peristiwa inilah yang, kelak, disebut sebagai Bai'ah Aqabah II.

Sebagai respon atas Bai'ah Aqabah II ini, maka, pada bulan berikutnya, yaitu Muharram, sejumlah sahabat pun mulai melangkahkan kaki lebih dahulu, berhijrah ke kota itu. Nabi saw. sendiri, atas perintah Allah, baru meninggalkan Mekkah pada (menurut Shafi ar-Rahman al-Mubarakfuri) suatu malam buta, tanggal 27 Shafar, bertepatan dengan tanggal 12/13 September 622 M, atau (menurut Sa'id Ramadhan al-Buthi) 1 Rabiul Awwal, bertepatan dengan 20 September 622 M.

Maka, di malam buta itu, Nabi saw. keluar, secara diam-diam, meninggalkan rumahnya yang telah dikepung orang-orang musyrik, menuju rumah Abu Bakr, sahabatnya. Mereka berdua, selanjutnya, bergerak ke Gua Tsur dan tinggal di sana sementara waktu.Tiga malam kemudian, yaitu tanggal 1 Rabi'ul Awwal atau 16 September 622 M, barulah beliau meninggalkan Gua Tsur, memulai perjalanan hijrahnya yang, kelak, mengubah sejarah itu. Bertemankan tiga orang lainnya, yaitu Abu Bakr, 'Amir Ibn Fuhairah (mantan budak Abu Bakr), dan 'Abdullah Ibn 'Uraiqith (seorang musyrik yang menjadi penunjuk jalan), rombongan beliau, berkendaraan tiga ekor unta, bergerak zig-zag, menyusuri rute yang tidak pernah ditempuh orang lain, menuju ke kota Madinah. Tiga hari sebelum itu, di malam ketika Nabi saw. Meninggalkan rumah Abu Bakr menuju ke Gua Tsur, beliau berhenti sejenak di al-Jazwarah, menatap Ka'bah dan kota Mekkah, menunjukkan rasa cintanya ke kota itu, lalu berucap: 

Innaka khairu ardhillahi wa ahabbu biladillahi ilallahi, wa lawla ahlaka akhrajuni, ma kharajtu. 

Sungguh, engkau (Mekkah) adalah sebaik-baik bumi Allah, dan negeri yang paling dicintai Allah. Seandainya pendudukmu tak mengusirku, aku tak akan pergi. (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan an-Nasa'i).

Abdullah bin Uraiqith membawa rombongan melewati jalur pesisir pantai, menuju Selatan ke arah Yaman, kemudian berbelok ke barat arah pesisir. Dari situ kemudian berbelok ke barat arah pesisir, lalu menuju ke utara mendekati Laut Merah hingga sampai di Quba. Disebutkan bahwa Nabi Muhammad tiba di Quba pada Senin 8 Rabiul Awwal tahun ke-14 kenabian atau tahun 1 Hijriyah, atau 23 September 622 Masehi.

Membaca Ulang Sirah Nabi saw.

Sabtu, 04 Juli 2020

AL-MAKTABAH AS-SYAMILAH



Ketekunan selalu membuahkan hasil. Rumus sederhana itu, lagi-lagi, mampu membebaskan saya dari rasa penasaran luar biasa terhadap software yang satu ini , saya ingin berbagi pengalaman tentunya : Al-maktabah As-syamilah. Dulu, beberapa tahun yang lalu, ketika zaman kecepatan internet masih terbatas, bahkan penyedia layanan internet rumahan seperti In***ome belum booming, entah sudah berapa kali saya mencoba mendownload software e-book luar biasa ini, tapi selalu saja gagal, disebabkan jaringan internet yang lamban, serta size file yang berpuluh-puluh Giga. dan saya pun lalu menyerah untuk dapat memilikinya .

akan tetapi beberapa waktu yang lalu, tanpa sengaja, seorang teman menawari saya software tersebut, tanpa harus mendownload berhari-hari. saya pun bersyukur luarbiasa.

Saya memang sangat ingin bisa mencicipi software ini. Betapa tidak, di dalamnya bersemayam khazanah intelektual islam klasik dalam jumlah yang luar biasa: ribuan buku (kitab) sekaligus.
Untuk menggambarkan betapa banyaknya buku yang tersimpan di software ini, ambillah sebuah contoh: kitab ibaanah al-ahkaam fi syarh al-buluugh al-maraam. Buku tebal yang berisi uraian atas kumpulan hadits-hadits hukum yang terkodifikasi di buku buluugh al-maram ini terdiri dari lima jilid. Masing-masing jilid terdiri dari, tidak kurang, 500 halaman!. Padahal ada ribuan buku (kitab) lain yang bisa dibuka.

Selain itu, anda akan dengan mudah menemukan kitab-kitab turats maupun modern lain nya dengan mudah, simple dan cepat.

Begitu banyaknya khazanah buku yang tersimpan sampai-sampai kapasitas space hardisk yang dibutuhkan mencapai puluhan GigaByte. Jumlah yang sangat besar untuk ukuran sebuah software pustaka elektronik. Bahkan, kawan saya yang lain kabarnya memiliki versi paling lengkap dari software ini: lebih dari 100 GigaByte padatnya!

Setelah software ini terinstall dengan baik di perangkat saya, sayapun langsung tenggelam menyelaminya. Saat tulisan ini diposting, hari-hari sudah saya habiskan waktu untuk membukanya.

Secara keseluruhan, software ini memenuhi apa yang saya harapkan: bisa membuka beberapa buku sekaligus dalam jumlah banyak (walaupun saya masih lebih nyaman membuka bukunya langsung). Namun, beberapa catatan kecil harus saya tulis berkaitan dengan beberapa kekurangan. Kekurangan ini, saya pikir, harus disempurnakan di versi-versi mendatang.

Pertama, kesalahan tulis. Saya menemukan beberapa kesalahan input di berbagai buku. Kesalahan menulis satu atau dua huruf, mungkin, tidak masalah bagi sejumlah orang. Namun, jika kesalahan itu terjadi saat menuliskan sebuah hadits? Tentu itu menjadi masalah besar. Akibat kesalahan-kesalahan tulis “kecil” ini, saya menjadi tidak percaya untuk membuat sebuah kutipan. Walaupun itu hanya sebagian kecil saja.

Kedua, konsistensi format penulisan. Ada ketidakkonsistenan pada cara penulisan. Akibat dari hal itu, fitur “mesin” pencari sebuah objek bahasan seringkali gagal memahami apa yang saya inginkan. Ketidakkonsistenan ini paling terlihat pada adanya naskah yang ditulis lengkap dengan syakal-nya dan ada yang tidak.

Ketiga, tampilan antar muka. Saat saya membuka sebuah buku, akan muncul dua buah windows. Kanan untuk daftar isi dan kiri untuk isi buku dari daftar yang kita pilih. Tampilan semacam ini, ternyata, tidak menjadi format standar pada semua buku. Akibatnya, pada banyak buku lain, untuk mencari suatu pokok bahasan, saya harus menelusuri halaman-demi halaman buku tersebut. Jika halamannya berjumlah ratusan, mungkin, tidak terlalu memusingkan. Namun, jika halamannya ribuan? Padahal, fitur mesin pencari seringkali mogok.

Demikian beberapa titik kelemahan yang ditemukan setelah saya memanfaatkannya selama ini, walaupun sekali lagi, kekurangan-kekurangan ini terjadi karena mungkin memang saya tidak menggunakan versi lengkap nya, bahkan versi resmi yang katanya berbayar itu. Sehingga terlalu banyak bug yang ditemukan.

Akan tetapi, sekali lagi, software ini adalah software yang sangat luar biasa.

Jumat, 03 Juli 2020

LELAKI BERNAMA ANDARU

Azka Andaru Ghirba Syamsi.

Demikian nama putra pertama saya ini. Lelaki suci Pembawa cahaya Kebahagiaan itu akhirnya lahir pada hari sabtu, Pukul 22.00 WIB, 17 September 2016, beberapa jam setelah adzan isya berkumandang . Pekik tangis makhluk mungil itu menjadi penawar berbagai kegundahan dan kegelisahan hati.

Rasa berdosa memang terus mencambuk sepanjang kehamilan anak pertama saya ini. Betapa tidak, kehadirannya di dalam kandungan istri saya baru diketahui di minggu ke 8. Artinya, saya telah menganggap anak pertama saya ini “tidak ada” selama 8 minggu: sesuatu yang sangat sulit saya maafkan.

Selama rentang waktu itu, saya dan istri, sebenarnya, sudah pasrah menanti kehadiran nya, setelah hampir 1 tahun tidak juga diberikan amanah kehamilan.
Kekhawatiran juga terus saja menghinggapi karena istri saya selama hampir 8 minggu terus saja mengkonsumsi obat-obatan pereda sesak nafas, dikarenakan riwayat penyakit asma nya.

Saat kami telah menyerahkan semua kepada Allah , kapan pun Allah beri amanah untuk memiliki anak, Allah, Sang Pemilik Kehidupan, rupanya memiliki rencana lain. Seorang makhluk telah diputuskan-Nya hadir di tengah-tengah kami tanpa kami sendiri menyadarinya. Sambil menggelengkan kepala karena heran, dokter kandungan mendiagnosis usia kehamilan sudah mencapai minggu ke-8. Kekhawatiran langsung menyergap kami: khawatir obat-obatan asma, alergi serta suntikan-suntikan yang masih diterima selama “minggu-minggu yang hilang” itu akan menjadi penyebab tidak normalnya pertumbuhan bayi.

Untuk memastikan semuanya baik-baik saja, istri saya sampai menjalani USG biasa dan 4 Dimensi sebanyak 4 kali. Tidak cukup sampai di situ, serangkaian produk ramuan alam dikonsumsi selama kehamilan secara berdisiplin. Saya harus melakukan segala upaya untuk menjamin sehatnya pertumbuhan bayi saya ini.

Masa-masa menggelisahkan itu pun kini berlalu. Atas kuasa-Nya, makhluk yang selama sembilan bulan menjadi penghuni perut istri saya itu pun lahir besar dan tumbuh: sehat, bersih, aktif dan menggemaskan.

Terima kasih Allah, kau hadirkan makhluk ciptaan-Mu ini dengan segala kesempurnaannya.

Dan engkau anakku sayang, selamat datang di dunia yang penuh dengan pergumulan ini. Maafkan ayah yang sempat menganggapmu “tidak ada” pada 8 minggu kehidupanmu…

Rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa  qurrata a’yun…

Kamis, 02 Juli 2020

SANTRI WARIA

Sebuah tayangan menarik saya saksikan di youtube kemarin. Salah satu chanel youtube menayangkan profil sebuah pesantren kecil di kota Yogyakarta. Pesantren ini berada di sebuah gang sempit dan diapit oleh kepadatan rumah-rumah penduduk. Yang dimaksud pesantren itu pun ternyata hanyalah sebuah rumah sederhana yang terdiri dari dua ruang utama: ruang shalat dan ruang mengaji. Di depan teras rumah itu berdiri sebuah plang sederhana bertuliskan Pesantren Khusus Waria.

Pesantren Waria? Nah, itu dia.

Tayangan tentang pesantren, mungkin, tidaklah terlalu istimewa. Tetapi, pesantren khusus waria?

Hasrat untuk mengetahui lebih jauh profil pesantren unik ini memaksa saya untuk menyimak dengan seksama babak demi babak tayangan itu. Karena khawatir ada yang terlewat, video itu saya tonyon utuh tidak saya cepatkan. Bahkan ketika iklan-iklan yang menyebalkan itu tampil menyela.

Pesantren ini berdiri atas inisiatif seorang wanita tua yang, maaf, saya lupa namanya. Wanita tua ini merelakan rumah sederhananya dirubah menjadi sebuah pesantren sederhana. Yang hebat lagi, pesantren yang langsung ia pimpin sendiri itupun hanya dikhususkan untuk kaum waria.

Saya hanya ingin mengajak para waria itu untuk beribadah, menyembah Tuhan yang menciptakan mereka. Mudah-mudahan, dengan maunya mereka beribadah, hati mereka akan menjadi tenang. Dan, mudah-mudahan, dengan tenangnya hati mereka, Allah berkenan memberi mereka hidayah sehingga mereka bisa berubah menjadi laki-laki normal kembali, begitu wanita tua itu menjelaskan motivasinya.

Keberanian mendirikan pesantren aneh semacam itu, bagi saya, sangatlah luar biasa. Lebih-lebih inisiasinya muncul dari seorang wanita yang, nampaknya, tidak memiliki banyak pengalaman belajar di atau mengelola sebuah pesantren.

Sepanjang tayangan, tampak bahwa pesantren ini, mungkin tepatnya wanita ini, tidak menerapkan terapi-terapi rumit untuk menolong kaum waria ini dari jeratan problem kejiwaan mereka.

Ketenangan, hanya itu yang ditawarkan. Dengan ketenangan yang diperoleh, akan ada ruang yang cukup luas bagi kaum waria ini untuk merenungkan keadaan diri mereka sendiri. Selebihnya, biarlah waktu dan Tuhan yang menentukan.

Ketenangan jiwa ditawarkan kepada kaum waria ini melalui serangkaian kegiatan yang sederhana saja: shalat berjamaah dan belajar mengaji al-Quran. Selebihnya hanya ngobrol-ngobrol ringan. Saat beribadah, mereka dibebaskan untuk mengenakan pakaian ibadah wanita (ruku) atau pakaian ibadah pria (kain plus peci).

Hmm, tanyangan yang sangat inspiratif
Saya jadi teringat sebuah pesantren di Jawa Timur yang juga memiliki keunikan yang nyaris sama. Pesantren Metal, itu nama pesantrennya kalau saya tidak salah. Sebuah tempat yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin terbebas dari jeratan narkotika.

Di Pesantren Metal ini, para santrinya, yang kebanyakan kaum junkies itu, tidak diposisikan sebagai orang-orang kotor yang harus dsingkirkan. Pesantren tidak menempatkan dirinya sebagai juru terapi karena yang menjalankan fungsi itu adalah para penderitanya (santri) sendiri. Lama tidaknya mereka bisa sembuh dari candu narkotika sepenuhnya tergantung pada diri mereka sendiri.

Pesantren hanya menjadikan dirinya rumah bagi mereka. Para santri yang kebanyakan berambut gondrong, memiliki aneka macam tato di tubuh, dan berwajah preman ini diperbolehkan melakukan apapun yang mereka suka: bermain musik rock sekeras-kerasnya, merokok, jingkar-jingkrakan, atau apapun juga. Kewajiban mereka selama tinggal di pesantren juga sederhana saja: wajib shalat berjamaah dan mengaji al-Quran pada waktu yang ditentukan. Itu saja.

Kembali ke urusan pesantren waria tadi. Menyimak tayangan unik, di pikiran saya kembali berkelebat impian yang sudah lama saya simpan: mendirikan sebuah lembaga yang bisa menjadi rumah bagi orang-orang yang sudah kadung diposisikan sebagai sampah masyarakat. Sebuah lembaga yang mencoba memberikan pertolongan kepada siapapun yang sedang terjerat lingkaran setan suatu masalah, apapun juga masalahnya.
Saya tidak tahu apakah kelak impian ini akan terwujud atau tidak. Bagaimana mau membantu menyelesaikan masalah orang lain jika saya sendiripun adalah seseorang yang “bermasalah” haha…

Sayang, rangkaian tayangan ini harus ditutup oleh sesuatu yang membuat hati saya merasa tidak nyaman. Di ujung video, ada tayangan bagaimana respon masyarakat atas keberadaan pesantren unik ini. Berbagai respon masyarakat disajikan secara bergantian dari yang mendukung sampai yang tidak mendukung keberadaannya. Dari mereka yang menyikapinya secara positif sampai yang menyikapinya secara negatif.

Yang membuat saya terusik adalah fatwa yang keluar dari mulut salah seorang tokoh ulama di Kota Gudeg itu. Sang ulama menyatakan bahwa pendirian pesantren khusus waria semacam itu hukumnya adalah HARAM. Para waria itu, sang ulama menegaskan, adalah jenis kelompok masyarakat yang sudah dilaknat oleh Nabi SAW. Haram hukumnya seorang laki-laki berpakaian seperti perempuan. Dengan demikian, merumahkan orang-orang yang berkecenderungan kejiwaan semacam itu haram pula dilakukan. Mendirikan pesantren khusus waria sama artinya dengan membenarkan prilaku menyimpang mereka.

Saya mencoba mencerna dan memahami alur hukum fatwa sang kyai itu. Namun, saya tetap gelisah. Saya merasa ada sesuatu yang janggal?

Saya cuma mau sedikit mengomentari sang Ulama bukan dari sisi hukum Fiqh nya, yang memang ulama sudah banyak sekali membahas terkait "kelainanan" semacam ini, yang disebut sebagai Al Khuntsa dan Takhanuts oleh para Fuqaha.

Tapi jauh daripada itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa beliau jelas kurang paham dengan tujuan pesantren tersebut. Tidak ada perdebatan bahwa “waria” hukumnya haram. Tapi, saya dapat memahami sepenuhnya tujuan dari pesantren itu untuk “menyembuhkan” si waria menjadi lelaki tulen.

Masalahnya, pesantren khusus waria itu, setelah tayangan profilnya saya simak, didirikan bukan untuk tujuan membenarkan kecenderungan kejiwaan yang tidak lazim pada kelompok waria, tapi mencoba meluruskannya walaupun dengan cara yang, mungkin, teramat sederhana.

Kalau kita diharamkan meluruskan mereka, lantas, siapa yang harus melakukannya?

wallahu ta'ala a'lam

HUJAN, KHITBAH DAN KITA

Bukankah hujan tak pernah sama?

Apanya yang tak sama? Jatuhnya yang tak berirama ataukah emosi yang hadir setiap kali ia turun menyapa bumi dengan rinai dan basah yang menempel di depan kaca.

Kau bisa mentafsirkannya sendiri. Aku rasa tidak butuh rumus untuk mengerti kenapa hujan tak pernah sama. Yang kau perlukan hanyalah kecakapan untuk merekam semua peristiwa yang terjadi saat rinainya bertatapan mesra dengan tanah, dengan pohon dan mungkin denganmu saat engkau memaksa untuk memeluk hujan.

Bagiku hujan tak pernah sama. Namun di antara semua yang berbeda tetap satu yang dengan pongah bertengger gagah diantara sekian juta labirin memori tentang hujan.

Sini, aku ceritakan kepadamu tentang hujan yang mengubah segalanya. Karena setelah hujan itu, kehidupanku pun berubah. Tidak lagi berupa kisah tunggal yang goyah karena riuhnya angin, derasnya gelombang dan gemuruhnya petir. Setelah hujan itu, kisah lama perlahan memudar digantikan oleh babak baru yang kali ini aku berperan sebagai raja yang memimpin sebuah istana. Tentang raja yang berkomitmen pada janji dengan langit dan bumi menjadi saksi. Janji yang mengalahkan sumpah palapa milik seorang patih Gajah mada.

Aku masih ingat. Hari itu sabtu malam minggu pertama september tahun 2014. Sabtu yang terasa begitu istimewa hingga malamnya pun mata ini tak bisa tertidur dengan lelap. Berbekal kepercayaan diri, kakiku dan beberapa orang keluarga melangkah dengan mantap. Awalnya langit begitu cerah. Tak nampak awan berarak apalagi yang bergumul membentuk sirus, cumulus ataupun stratus, sebagai pertanda akan hujan.

Tanpa basa-basi, tepat ketika kakiku melangkah turun dari mptor yang aku tumpangi betsama keluarga, hujan turun tanpa malu-malu. Ia turun dengan membawa pesan yang dititipkan oleh setiap orang yang memendam rindu dan berharap temu. Pesan itu terbang menuju awan untuk kemudian diantarkan kembali menuju bumi. Entahlah apakah pesan itu jatuh pada orang yang tepat atau malah melenceng jauh. Namun yang aku yakini, hujan kali ini membawa pesan yang dulu pernah aku selipkan dalam lantunan doa. Mungkin mereka mendengar doaku dan atas izin Sang Pencipta pesan tersebut diantarkan padamu.

Hujan ini tak memberikan kesempatan padaku untuk beranjak barang setapak. Aku dan keluarga pun menunggu dengan penuh haru. Mengiba kepada pemilik rumah untuk mengizinkanku masuk sembari berteduh hingga hujan lebih sedikit bermurah hati. Kelang beberapa saat, terlihat seorang gadis dengan gamis hijau menghampiri dan membawakan beberapa cangkir teh hangat. Ia lalu memintaku dan keluargaku untuk meminum nya seraya tetap menunduk malu.

Tak lama, hujan pun menyengaja diri untuk berhenti. Yang tersisa hanyalah tanah basah yang ditinggali oleh jejak kaki anak-anak yang riuh bercanda di atasnya. Aroma khas hujan pun turut serta berdiaspora. Atmosfer ini berhasil mengunduh memori tentang hujan yang pernah hadir dan kini berserakan. Namun setelah hujan itu, aku akan menghapus semua cerita yang pernah hinggap di hati. Karena hujan ini akan menjadi sebuah awal dari langkah untuk sebuah pentas cinta, panggung pergolakan cerita dan emosi yang berbeda.

Setelah hujan itu, setelah aku sesaat berteduh, semua berubah. Tidak ada lagi aku. Ia berubah menjadi kita. Setelah hujan itu, langkah-langkah kita seolah dipermudah. Mungkin benar, kali ini hujan tahu kita tengah membangun cinta. Ia membawa segenap pesan yang terselip dalam doaku. Mungkin juga dalam doamu. Di bawah hujan itu kita bertemu.

Setelah hujan itu setiap langkah kita terharmoni dalam senandung yang merdu. Ia menggubah kata menjadi lagu. Setelah hujan itu, kita bersama menggapai surga, mitsaqon gholidza.

"Mengenang masa khitbah pertama ke keluarga istri pada tanggal 4 September 2014. Hujannya turun dengan deras tanpa ada ragu"

Selasa, 30 Juni 2020

KEKASIH TAK BISA MENOLAK, TAPI TAKDIR TERUS BERLAKU

Ini salah satu cerita Prof Nadirsyah Hosen yang sangat Indah sekali bersama abah nya Prof Ibrahim Hosen (Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama dua dekade (1981-2000) )

Tidak pernah saya mengutip tulisan sepanjang ini, tanpa editing, dan di salin serta tempel apa ada nya di blog saya. Kecuali kali ini, karena tulisan ini sangat Indah Sekali.

Begini :

Selepas tarawih itu, Abahku mengajak aku menemani beliau ke rumah sakit. Ini peristiwa sekitar tahun 1995-1996. Abah diberitahu ada kenalan yang sakit parah dan berpesan memohon Abah menjenguk.

Malam itu kami bertiga menuju rumah sakit di pusat Jakarta. Turut pula menemani kami, staf Abah, Dr Anshori Mahbub LAL. Sesaat berada di dalam kamar perawatan, Abah mendekat ke ranjang pasien, dan kemudian berdoa.

Kak Anshari dan aku berdiri di dekat pintu. Lama sekali Abah terlihat menundukkan kepala di dekat ranjang itu. Tidak seperti biasanya.

Kemudian Abah memberi isyarat untuk pergi meninggalkan kamar perawatan tersebut. Di koridor, Kak Anshari, alumni al-Azhar Cairo yang pakar bahasa Arab itu, berbisik padaku: “Lama sekali Abah berdoa tadi. Makbul ini!” Aku cuma menjawab pelan, “Amin Ya Rabb”.

Di dalam mobil Abah diam saja. Tidak biasanya kami ramai bercakap-cakap. Aku pun merasa tak enak mengganggu  Abah yang entah kenapa terlihat diam menerawang.

Selepas subuh, kami mendapat telpon, bahwa kenalan yang semalam kami besuk itu telah meninggal dunia. Abah lantas memanggil aku.

“Subhanallah. Kamu tahu semalam Abah lama berdiri di samping ranjang hendak mendoakan dia?”

“Iya, saya lihat Abah lama sekali berdoa semalam.”

“Tidak, Nak! Semalam itu mendadak doa yang Abah biasa ucapkan lenyap dari memori Abah. Abah diam lama menundukkan kepala bukan berdoa, Abah mencoba mengingat-ingat lafaz doa, tapi semua kalimat hilang, dan tak satupun doa terucap dari mulut Abah. Di Mobil anehnya Abah ingat lagi doa itu. Takdir telah berlaku.”

Aku terhenyak. Tak mengerti.

Belakangan aku baru paham. Takdir ilahi telah tercatat bahwa kenalan itu akan meninggal subuh kelak. Doa permohonan seorang kekasih tak mungkin ditolak. Namun takdir tak mungkin pula diubah. Maka Allah membuat kalimat doa menjadi lenyap di kepala sehingga tak satupun permintaan hambaNya terucap malam itu.

Hubungan para pecinta dengan Kekasih itu memang unik. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan ijinNya semata.

Rabbi,
Hapus semua tentang selainMu
Biar kami dalam ingatanMu
Dan Engkau dalam zikir kami
Selalu

Source : Fanpage Facebook Nadirdyah Hosen

Kamis, 28 Mei 2020

SI ITAM YANG MISTERIUS

Ini kisah seekor kucing yang pernah saya kenal saat kecil dahulu. Si Itam, demikian saya dan keluarga menjulukinya; seekor kucing galak bertampang sangar kesayangan Abang Saya, Muhammad Taufik. Tubuh kucing itu sedikit besar melebihi rata-rata tubuh belasan kucing lainnya yang berkoloni di tempat kediaman kami dulu. Bulu-bulunya tebal berwarna hitam-legam (itu pulalah yang kemudian melatarbelakangi julukannya "si Itam") kecuali bola mata –dengan tetap ada bulatan hitam di tengahnya– dan keempat telapak kakinya. Kedua matanya selalu menatap tajam, penuh curiga, dan sangat awas mengamati keadaan di sekitarnya.

Muhammad Taufik, Abang saya itu, sering terlihat memangku si Itam ke mana-mana sambil mengelus-elus bulunya yang tebal itu. Jika Ia makan, kucing itu sering ada di sampingnya, turut menikmati "Jatah" setiap kali ia makan,  makannya: campuran antara nasi dan serpihan ikan asin.
Di siang hari, Si Itam  jarang sekali terlihat. Sekali muncul, dia selalu berada di tempat-tempat tinggi seperti atap rumah, langit-langit rumah, atau di atas lemari. Jarang sekali dia berjalan-jalan di lantai atau di permukaan tanah.

Di malam hari, Itam sering “duduk” manis dan berjaga di atas lemari tua di kamar Mamak. Saya, yang dulu setiap malam tidur di kamar itu, selalu merasa takut kepadanya. Tatapan kedua matanya selalu penuh permusuhan.
Itam adalah kucing “bernyawa sembilan.” Kemampuannya meloloskan diri dari maut sangatlah luar biasa. Saya dan keluarga, juga orang-orang, tidak suka kepadanya dan, karena itu, kami sering memburu dan berusaha menangkapnya. Orang-orang malah berusaha membunuhnya berkali-kali. Ketidaksukaan kami kepada Itam dipicu oleh kebiasaan buruknya mencuri makanan di atas meja makan, dirumah kami bahkan tetangga.
Sekalipun sayang kepada Itam, Taufik, abang saya tidak pernah menegur, apalagi marah, jika saya, Kakak, Abang yang lainnya, atau orang-orang memburunya. Dia hanya tersenyum dan malahan, seolah, berkata “silahkan saja tangkap kalau bisa!.”  Itam memang sangat lihai dan cerdik. Kecepatannya berlari sangat luar biasa. Perburuan-perburuan kami selalu saja gagal.

Namun, selihai-lihainya Itam menyelamatkan diri, pada akhirnya, nasib malang pun menimpa. Demikianlah, suatu siang, saya melihat seorang pria –saya lupa namanya– menyeret-nyeret, tanpa belas kasihan, seekor kucing dengan tali tambang. Kucing itu adalah Itam. Di ujung tali, dia terlihat menyerah, tidak mampu lagi meloloskan diri dari tali yang menjerat lehernya. Saya bersorak, namun juga merasa iba kepadanya karena perlakuan kejam pria itu. Dalam hati, saya bertanya-tanya bagaimana cara pria itu menangkap Itam?
Tanpa peduli dengan tatapan iba saya, pria itu terus menyeret Itam ke sebuah jembatan di Parit Sebelah. Lalu, dengan semangat, dilemparkanlah kucing itu ke Pariti yang mengalir di bawah. Tidak ayal lagi, ir parit yang sedang naik karena banjir itu melumatnya tanpa ampun. Itam, terlihat, berusaha berenang, namun gagal. Ia pun tenggelam dan tidak muncul lagi ke permukaan air. “Tamatlah riwayat Itam,” pikir saya, sedih. Pria itu tersenyum puas, lalu meninggalkan jembatan.

Tahukah apa yang terjadi malam harinya? Bukan, bukan malapetaka atau semacamnya. Inilah yang terjadi: malam hari, saya masuk ke kamar Mamak untuk tidur. Ketika merebahkan tubuh di kasur, lalu mengarahkan padangan ke bagian atas lemari, saya melihat Itam sedang nangkring dan “duduk” manis seperti biasanya!Allahu Akbar , bagaimana kucing itu bisa ada di sana? Bukankah seharusnya dia mati ditelan parit yang airnya sedang menderas itu? mamak pun hanya tersenyum menyaksikan. Bagaimana cara dia melepaskan tali tambang yang menjerat erat lehernya?

Itulah, antara lain, kehebatan Itam yang pertama. Yang kedua, kisah tetangga saya, yang juga pernah berhasil menangkapnya, memasukkannya ke dalam karung, lalu membawanya ke Pasar untuk dibuang. Jarak Pasar dari rumah saya di Sei Beringin berkilo-kilo meter jauhnya. Tetangga saya itu berharap Itam akan mendapatkan tempat tinggal baru di sana dan kami terbebas dari kenakalan-kenakalannya yang menjengkelkan itu.
Tahukah apa yang terjadi malam harinya? Ya, tepat! Saat saya masuk ke kamar mamak untuk tidur, kucing itu, lagi-lagi, tampak sedang nangkring dan “duduk” manis di atas lemari! Artinya, Itam berhasil pulang dari tempat pembuangannya, menempuh jarak sejauh berkilo-kilometer tanpa tersesat.

Untuk mengobati kekesalan kami terhadap kucing kesayangannya itu, Muhammad Taufik, Abang saya pun mengajak saya untuk membuangnya bersama-sama. Demikianlah, kami berhasil menangkapnya. Tidak sulit bagi Abang saya ini menangkap Si Itam karena ia memang jinak kepadanya.
si Itam Kami bawa jauh dari lokasi pembuangan yang pertama, melewati Pasar, menelusuri sepanjang jalan Telaga Biru, tepatnya di Parit 6 Tembilahan Hulu kami berhenti. Si Itam itu seolah menatap kami.“Serius, nih, Bos? Kita harus turun di sini?,” demikian ia, seolah-olah, berkata.

Ada rasa iba saat kami menatapnya. Namun, keputusan sudah dibuat. si Itam, harus turun di sini. Kami tidak khawatir kucing itu akan kelaparan karena sekitar seratus meter dari tempat itu ada sebuah perkampungan yang cukup padat. Motorpun meluncur meninggalkannya.
Tahukah apa yang terjadi malam harinya? Ya, tepat! Hal mengherankan itu, lagi-lagi terjadi. Kucing-kucing lain mungkin mustahil untuk dapat kembali, namun Itam? Ia berhasil pulang menempuh jarak hampir puluhan kilo meter! Saya menggeleng-gelengkan kepala sementara Abang saya tersenyum-senyum.

Balada si Itam ini masih berlanjut untuk beberapa bulan kemudian hingga kisahnya, secara perlahan, tenggelam begitu saja. Diawali oleh mulai tidak tampaknya dia selama beberapa malam di atas lemari Kamar mamak. Saya tidak terlalu peduli dengan itu. Kami baru menyadari bahwa ada sesuatu terjadi padanya ketika kucing itu betul-betul tidak pernah terlihat lagi. Itam menghilang entah ke mana. Abang saya pun tidak tahu ke mana dia pergi. Barulah lama setelah itu kami mendengar kabar bahwa Itam telah mati. Seseorang, katanya, berhasil membunuhnya. Entahlah…

AJAIB NYA DOA IBU

Pada tahun 2012 saya di wisuda di STAI Auliaurrasyidin Tembilahan dengan predikat wisudawan terbaik, lulus dengan pujian (Cumlaude),. Tapi semua itu bukan jaminan saya dimudahkan untuk mendapatkan pekerjaan, setelah  hampir 6 tahun gonta ganti pekerjaan, 2018 saya mencoba untuk ikut tes CPNS Kab. Indragiri Hilir.

pagi itu, sebelum berangkat melaksanakan SKD (Seleksi Kemampuan Dasar) di rengat, Kab. Indragiri Hulu, sembari melepas kepergian, ibu saya berdoa, "semoga kamu lulus nak" (sedikitpun tidak ada keraguan tersirat dari wajah nya)

Berbekal doa dari beliau, saya haqul yakin akan lulus.

Singkat cerita, SKD berlalu saya mendapatkan nilai total 322, lulus? Tidak, karena ada salah satu nilai yang tidak mencapai ambang batas kelulusan (passing grade). Apakah cerita nya berakhir sampai di sini? Tentu tidak, ini adalah awal bagian dari bagaimana luarbiasa dan amazing cara Allah mengabulkan doa dari seorang ibu.

Setelah hampir  10 hari SKD dilaksanakan, apa yang terjadi teman-teman, Qadarullah, tingkat kelulusan SKD Kabupaten Indragiri Hilir tidak sampai 1 persen, 52 orang dari total 5382 peserta, bahkan ini tidak hanya terjadi di Indragiri Hilir, ini terjadi juga di seluruh Riau bahkan kelulusan SKD CPNS 2018 Secara Nasional hanya 2%.

Dan, inilah bagian terbaiknya. Yang saya yakin, ada doa ibu saya, doa ibu-ibu di seluruh Indonesia dengan doa yang sama. Kelulusan bagi anaknya yang sedang Allah buatkan skenario cerita untuk dikabulkan dengan cara yang luarbiasa.

Dengan tingkat kelulusan yang hanya 2% secara Nasional, tentu akan banyak Formasi kosong yang tidak terisi maksimal, padahal kebutuhan guru, tenaga kesehatan saat itu sudah sangat mendesak. Sehingga mengharuskan Panselnas (Panitia Seleksi Nasional) untuk mencari solusi dari fenomena gagal masal di SKD CPNS 2018 ini.

sebulan setelah SKD secara Nasional berakhir di seluruh Indonesia. Secara mengejutkan, Kementrian PAN RB mengeluarkan Permenpan 61 Tahun 2018, yang mengatur syarat kelulusan SKD semula berdasarkan ambang batas kelulusan (Passing Grade) menjadi perangkingan berdasarkan nilai kumulatif SKD. Allah kabulkan doa ibu saya, saya lulus SKD dengan peringkat pertama!

Begitu pula di SKB (Seleksi Kemampuan Bidang), hingga kemudian saya dinyatakan lulus sebagai CPNS dan mendapatkan SK PNS.

Allah Sang Maha Sutradara. Allah juga Sang Pemilik cerita. Allah punya segudang cara untuk merubah peristiwa dan cerita.

Ingin dibuatkan skenario terbaik oleh-NYA? Muliakan Orangtua!

NB: soal-soal CAT (Computered Assited Test) pada CPNS 2018 memang dinilai memliki tingkat kesulitan cukup tinggi, yang menyebabkan fenomena gugur masal, sehingga kemudian pada CPNS 2019 di adakan koreksi menyeluruh terhadap seluruh soal-soal CAT oleh Panselnas

Rabu, 01 Januari 2020

KISAH CINTA SALMAN AL-FARISI SANG ARSITEKTUR PERANG KHANDAQ YANG "DI TIKUNG" ABU DARDA

Kisah tentang sahabat rasul memang banyak menyimpan ibrah dan teladan. Termasuk sepenggal episode kisah dua orang sahabat rasul, Salman al-Farisi r.a. dan Abu Darda r.a. yang memang sudah begitu populer.

Adalah seorang Salman al-Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah saw berdarah Persia. Sebelum memeluk Islam, ia termasuk bagian dari orang-orang majusi, penyembah api (Zoroaster). Namun ketika cahaya Islam menyentuhnya – layaknya para sahabat yang lain – menjadi salah seorang yang militan dan semangat dalam membela Islam.

Suatu ketika Salman al-Farisi tengah gundah gulana, sang arsitek Perang Khandak tersebut tengah mencari jodoh. Mungkin lama sudah ia membujang hingga perlunya  ingin segera mengakhiri masa kejombloannya.

Rupanya Salman al-Farisi telah lama mengincar salah seorang perempuan salihah yang hendak ia khitbah dalam waktu dekat. Menurur riwayat, perempuan pujaan Salman tersebut adalah gadis Anshor yang merupakan seorang mu’minah nan cantik lagi salihah.

Namun urusan khitbah bukan permasalahan sepele bagi Salman, ia butuh seorang perantara untuk menyampaikan keinginannya melamar sang pujaan. Terbesitlah salah seorang sahabat karibnya untuk dimintai pertolongan, Abu Darda.

Madinah bukanlah tempat kelahiran dan daerah asal Salman al-Farisi, oleh karenanya ia meminta Abu Darda menjadi perantara prosesi khitbahnya. Keinginnan Salman pun disampaikan ke Abu Darda. “Subhanallah wal Hamdulillah” ucap Abu Darda  dengan penuh kegirangan setelah mendengar keinginan sahabatnya Salman yang hendak meminta bantuannya perihal lamar-melamar.

Abu Darda pun tak perlu pikir panjang, dengan senang hati ia membantu hajat sahabatnya tersebut.

Hingga tiba waktunya mereka berdua menuju ke rumah gadis anshar yang  disukai oleh Salman al-Farisi. Setelah sampai di rumah orang tua fulanah tersebut, Abu Darda bertemu dengan kedua orang tuanya. Tanpa babibu panjang lebar, Abu Darda mengungkapkan perihal maksud kedatangannya.

“Saya adalah Abu Darda dan ini adalah saudara saya Salman al-Farisi dari Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia telah memiliki kedudukan mulia di mata Rasulullah Saw. hingga beliau menyebutnya sebagai ahlul bait,” ucap Abu Darda dengan penuh wibawa.

“Saya datang ke sini mewakili saudara saya Salman al-Farisi untuk melamar putri Anda”.

Ternyata sang gadis telah mendengar sayup-sayup dari bilik rumah perbincangan antara kedua orang tuanya dan Abu Darda. Sang Ayah dari seorang putri yang diidamkan oleh Salman pun mengembalikan semua keputusan pada putrinya, apakah menerima atau menolak.

Lantas sang Ibunda berbicara mewakili putrinya dan takdir Allah berkehendak lain. “Maafkan kami atas keterusterangan ini, putri kami menolak dengan penuh hormat pinangan ananda Salman al-Farisi.”

Tak cukup sampai disitu, bak halilintar di siang bolong, Ibu dari sang putri shalihah berucap “Namun jika Saudara Abu Darda memiliki tujuan yang sama, maka putri kami lebih memilih antum sebagai calon suaminya.”

Bayangkan jika kita berada di posisi Salman saat itu, apa yang akan kita lakukan mendengar hal tersebut.

Namun tidak demikian dengan Salman al-Farisi, di sinilah letak kemuliaan manusia-manusia hasil didikan Rasulullah Saw. Dengan fasih dan berwibawa ia berujar “Semua mahar dan nafkah yang aku persiapkan ini aku serahkan kepada Abu Darda.”

Tak cukup berkata itu, Salman kembali mengucap lantang “Dan aku akan menjadi saksi atas pernikahan kalian”.

Kisah tersebut akhirnya termaktub dan mengekal dalam sejarah Islam karena kemuliaan Salman al-Farisi yang tidak menuhankan cinta semata. Bayangkan jika Salman bersikap sebaliknya, berputus asa, galau merana, lari mengambil pisau atau mencari tebing untuk mengakhiri hidupnya, mungkin hanya akan menjadi romansa picisan yang cepat berlalu.

Perihal khitbah, nikah dan jodoh adalah satu hal yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih di awal tahun ini, ratusan jomblo dipastikan melepas masa lajangnya sekaligus masih banyak pula para jomblo yang semakin galau melihat berderet sahabat angkatan gengnya telah menikah.

Hikmah dari kisah tersebut tidak semata meneladani kualitas akhlak dan keimanan Salman al-Farisi semata, tentu masih ada hikmah yang lain. Yaitu untuk kaum jomlo biar gak jadi pagar makan tanaman alangkah baiknya pastikan ‘mak comblang’ yang kamu pilih saat melamar si dia tidak lebih keren atau lebih tampan daripada kamu, tidak juga lebih kaya dari kamu, syukur-syukur dia sudah menikah, tentu itu lebih aman. Intinya tetap semangat aja mencari jodoh ya mblo.😅😅

Wallahu ta'ala A'lam