SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Kamis, 02 Juli 2020

HUJAN, KHITBAH DAN KITA

Bukankah hujan tak pernah sama?

Apanya yang tak sama? Jatuhnya yang tak berirama ataukah emosi yang hadir setiap kali ia turun menyapa bumi dengan rinai dan basah yang menempel di depan kaca.

Kau bisa mentafsirkannya sendiri. Aku rasa tidak butuh rumus untuk mengerti kenapa hujan tak pernah sama. Yang kau perlukan hanyalah kecakapan untuk merekam semua peristiwa yang terjadi saat rinainya bertatapan mesra dengan tanah, dengan pohon dan mungkin denganmu saat engkau memaksa untuk memeluk hujan.

Bagiku hujan tak pernah sama. Namun di antara semua yang berbeda tetap satu yang dengan pongah bertengger gagah diantara sekian juta labirin memori tentang hujan.

Sini, aku ceritakan kepadamu tentang hujan yang mengubah segalanya. Karena setelah hujan itu, kehidupanku pun berubah. Tidak lagi berupa kisah tunggal yang goyah karena riuhnya angin, derasnya gelombang dan gemuruhnya petir. Setelah hujan itu, kisah lama perlahan memudar digantikan oleh babak baru yang kali ini aku berperan sebagai raja yang memimpin sebuah istana. Tentang raja yang berkomitmen pada janji dengan langit dan bumi menjadi saksi. Janji yang mengalahkan sumpah palapa milik seorang patih Gajah mada.

Aku masih ingat. Hari itu sabtu malam minggu pertama september tahun 2014. Sabtu yang terasa begitu istimewa hingga malamnya pun mata ini tak bisa tertidur dengan lelap. Berbekal kepercayaan diri, kakiku dan beberapa orang keluarga melangkah dengan mantap. Awalnya langit begitu cerah. Tak nampak awan berarak apalagi yang bergumul membentuk sirus, cumulus ataupun stratus, sebagai pertanda akan hujan.

Tanpa basa-basi, tepat ketika kakiku melangkah turun dari mptor yang aku tumpangi betsama keluarga, hujan turun tanpa malu-malu. Ia turun dengan membawa pesan yang dititipkan oleh setiap orang yang memendam rindu dan berharap temu. Pesan itu terbang menuju awan untuk kemudian diantarkan kembali menuju bumi. Entahlah apakah pesan itu jatuh pada orang yang tepat atau malah melenceng jauh. Namun yang aku yakini, hujan kali ini membawa pesan yang dulu pernah aku selipkan dalam lantunan doa. Mungkin mereka mendengar doaku dan atas izin Sang Pencipta pesan tersebut diantarkan padamu.

Hujan ini tak memberikan kesempatan padaku untuk beranjak barang setapak. Aku dan keluarga pun menunggu dengan penuh haru. Mengiba kepada pemilik rumah untuk mengizinkanku masuk sembari berteduh hingga hujan lebih sedikit bermurah hati. Kelang beberapa saat, terlihat seorang gadis dengan gamis hijau menghampiri dan membawakan beberapa cangkir teh hangat. Ia lalu memintaku dan keluargaku untuk meminum nya seraya tetap menunduk malu.

Tak lama, hujan pun menyengaja diri untuk berhenti. Yang tersisa hanyalah tanah basah yang ditinggali oleh jejak kaki anak-anak yang riuh bercanda di atasnya. Aroma khas hujan pun turut serta berdiaspora. Atmosfer ini berhasil mengunduh memori tentang hujan yang pernah hadir dan kini berserakan. Namun setelah hujan itu, aku akan menghapus semua cerita yang pernah hinggap di hati. Karena hujan ini akan menjadi sebuah awal dari langkah untuk sebuah pentas cinta, panggung pergolakan cerita dan emosi yang berbeda.

Setelah hujan itu, setelah aku sesaat berteduh, semua berubah. Tidak ada lagi aku. Ia berubah menjadi kita. Setelah hujan itu, langkah-langkah kita seolah dipermudah. Mungkin benar, kali ini hujan tahu kita tengah membangun cinta. Ia membawa segenap pesan yang terselip dalam doaku. Mungkin juga dalam doamu. Di bawah hujan itu kita bertemu.

Setelah hujan itu setiap langkah kita terharmoni dalam senandung yang merdu. Ia menggubah kata menjadi lagu. Setelah hujan itu, kita bersama menggapai surga, mitsaqon gholidza.

"Mengenang masa khitbah pertama ke keluarga istri pada tanggal 4 September 2014. Hujannya turun dengan deras tanpa ada ragu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar