SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Minggu, 09 Oktober 2022

HAJI PENGABDI SETAN

 

Dalam hadits qudsi Riwayat Imam Muslim ditegaskan : Allah SWT dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi SAW tidak menyatakan Allah SWT dapat ditemui di sisi ka'bah. Dengan kata lain, Allah SWT dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan ibadah individual. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta'addiyah afdhal min al-qashirah” (ibadah sosial jauh lebih utama daripada ibadah individual). 

Ketika banyak anak yatim terlantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah SWT roboh, banyak orang terkena Pemutusan Hubungan Kerja, banyak orang makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai. Lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita parut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah SWT?

Ayat mana yang menyuruh kita melaksanakan haji berkali-kali, sementara kewajiban agama masih segudang di depan kita? apakah haji kita itu mengikuti Nabi SAW? Kapan Nabi SAW memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu, agar di mata orang awam kita disebut orang luhur di sisi Allah SWT. Apabila motivasi ini yg mendorong kita, maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah SWT, melainkan karena menuruti perintah setan.

(Dikutip dari buku "Haji Pengabdi Setan", Karangan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A (Alm))

ADZAN

Adzan, prinsipnya, memang disyariatkan untuk tujuan mempermaklumkan shalat. Namun, adzan juga sunnah (digemakan) di luar shalat untuk tujuan mengharap keberkahan, untuk kesenangan hati semata, atau untuk mengeyahkan kegelisahan. 

Para ulama fikih dari kalangan madzhab Syafi'i adalah pihak yang memperluas cakupan kesunnahan adzan. Mereka menyatakan bahwa adalah sunnah ber adzan di telinga bayi saat ia dilahirkan, di telinga seseorang yang sedang gelisah, karena adzan akan mengenyahkan kegelisahan, sebelum dimulainya suatu perjalanan (safar), saat terjadi kebakaran, di tengah kerumunan pasukan (yang sedang bertempur), saat hendak membinasakan sesuatu yang menakutkan, ketika tersesat dalam suatu perjalanan, di telinga orang yang sedang ketakutan, orang yang sedang marah, orang atau binatang yang perangainya buruk, dan ketika menurunkan mayat ke dalam kubur sebagaimana ketika ia lahir pertama kali ke dunia.

-----

Wuzārah al-awqāf wa as-syuūn al-Islāmiyyah, Al-Masū'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait: 1983, Cet. II, Juz II, Hal. 372-373. To

MUBAHALAH

Mubahalah sendiri berasal dari kata bahlah atau buhlah, dalam bahasa arab berarti kutukan atau melaknat.

Secara terminologi Mubahalah adalah saling memohon dan berdoa kepada Allah untuk memberikan kutukan atau laknat kepada mereka yg berlaku bathil dan dzholim serta menyalahi kebenaran.

Mubahalah sendiri pernah dilakukan Rasulullah untuk menantang para pendeta nasrani dari Najran, karna terus menghalangi dakwah islam, untuk membuktikan kebenaran agama masing-masing. Ini pula lah yg kemudian menjadi asabun nuzul (sebab turun nya) ayat ali imran 61. Ibnu katsir menyebut ada 60 orang rombongan Nasrani yang mendatangi Nabi untuk menjawab tantangan mubahalah.

Akan tetapi hanya 2 orang yg berdialog secara langsung kepada Nabi. Di sebutkan Al Aqib dan As sayid lah orang nya.

Ketika mubahalah sedikit lagi akan dilakukan, tiba-tiba langit berubah, awan menjadi hitam. Pihak pendeta nasrani pun merasa gentar. Lalu meminta kepada Rasul untuk mengurungkan Mubahalah. Permintaan ini kemudian di setujui Rasulullah. Mubahallah pun urung dilakukan.

"membaca ulang sirah nabi SAW tentang Mubahalah"

Sabtu, 08 Oktober 2022

KELAHIRAN RASULULLAH SAW DALAM TINJAUAN

Bagaimana kita hendak menjelaskan peristiwa kelahiran Rasulullah Muhammad SAW?. Kita mempunyai banyak cara untuk melakukannya lewat berbagai perspektif. 

Ada perspektif hadis, yang sanadnya harus dijelaskan oleh ahli hadits dan terkadang ada perbedaan pandangan akan status kesahihannya.

Ada cara pandang sejarawan yang mengumpulkan kisah menggunakan sanad. Namun demikian, tidak saja sanadnya tidak sampai ke Rasulullah SAW., tetapi juga sulit diverifikasi dengan kacamata ilmu hadits.

Sampai di sini saja sudah akan ada perbedaan perspektif antara riwayat yang kita temui dalam Shahih Bukhari-Shahih Muslim dengan Sirah Ibnu hisyam.

Ada lagi yang memandang peristiwa kelahiran Rasulullah SAW dari sudut tasawuf. Dengan demikian, penjelasan ilmu makrifat tentang Nur Muhammad tidak bisa sembarangan dijelaskan di kalangan awam, apalagi hanya di panggung ceramah.

Ada lagi yang menjelaskan dengan pendekatan cinta. Maka dari itu, ia akan mengutamakan pendekatan adab, bukan bukti-bukti sejarah atau kesahihan riwayat.

Selain itu semua, ada yang menuliskan peristiwa kelahiran Rasulullah SAW lewat syi'ir puji-pujian. Hal ini jelas berbeda dengan riwayat hadits. Diksi yang dipilih juga sering berupa metafora yang glorifikasi. Tidak bisa dipahami secara harfiah apa adanya. Puji-pujian dalam Barzanji, misalnya, tidak layak dibenturkan dengan Shahih Bulhari. Hal itu dikarenakan bahwa perspektif kedua kitab ini berbeda. Berbeda bukan berarti keliru.

Dengan demikian, kita paham akan perbedaan perspektif yang ada. Saya ingin memberikan contoh : Kalau dalan perspektif syi'ir puji-pujian, seperti dalam Barzanji, kita bisa menerima info bahwa Rasulullah SAW lahir 12 Rabiul awal, tetapi kalau kita buka kitab sejarah, seperti Sirah Nabawiyah karya Ibnu Katsir, misalnya, kita akan terkejut mendapati sekian banyak riwayat sejarah yang berbeda tentang tanggal kelahiran beliau. Ada yang mengatakan tanggal 17 dan ada pula yang berpendapat tanggal 8 Rabiul awal. Ternyata, Ibnu Katsir juga mencatat ada yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW lahir pada 12 Ramadhan. Kalau informasi berbeda ini disampaikan dalam panggung ceramah masyarakat awam, bisa-bisa semua pada heboh. Padahal dalam perspektif sejarah, perbedaan tanggal itu hal yang biasa.

Begitulah perbedaan cara melihat peristiwa kelahiran Rasulullah SAW. Banyak perspektif yang berbeda sesuai dengan pendekatan yang mau kita ambil. Jadi, hendaklah kita tidak terburu-buru mau menyalahkan pihak lain. Apalagi menganggap orang lain salah hanya karena melihat satu peristiwa dengan perspektif yang berbeda.