Pasti semua tahu dengan lirik lagu ini..di bawah ini
Walau cinta kita sementara
Aku merasa bahagia
Kalau kau kecup mesra di keningku
Ku rasa bagai di Surga
Reff:
Cinta satu malam
Oh indahnya
Cinta satu malam
Buatku melayang
Walau satu malam
Akan selalu ku kenang
Dalam hidupku
Cinta satu malam
Oh indahnya
Cinta satu malam
Buatku melayang
Walau satu malam
Akan selalu ku kenang
Selama-lamanya
Sentuhanmu membuatku terlena
Aku telah terbuai mesra
Yang ku rasa hangat indahnya cinta
Hasratku kian membara
atau yang satu ini..
Berdansa dan menari ikuti alunan lagu
Semua matapun kini hanya tertuju padaku
Tapi tatap matamu seolah inginkan aku
Ingin dekat kau peluk aku dan sentuh cintaku
Tapi tunggulah dulu kau jangan coba merayu
Tunggu tunggulah dulu kau jangan dekati aku
Sabar sabarlah dulu kau jangan marah padaku
Bukan salahku jika banyak yang mau padaku
Reff 2x :
Mari semua dansa denganku
Dekap aku dan hanyutkanku
Dengan irama yang menggoda
Melepaskan hasrat dirimu
Back To *, Reff
Kamu inginkan aku
Peluk aku cium aku
Kamu inginkan aku
Ingin bercinta denganku
Tentunya
kita masih ingat kan dengan lirik-lirik lagu di atas? Yap, itu adalah
potongan dari lagu CINTA SATU MALAM nya Melinda dan MARI BERCINTA nya
ura kasih. Lagu ini begitu familiar bagi kita bahkan sangat seriung di
putar di radio atau telivisi. Tapi apakah kita sadar jika Lagu ini
banyak mengandung pesan MAKSIAT?
Kenapa?
coba
saja kita lihat dari segi visualnya ketika para penyanyi nya
memmbawakan lagu ini, dengan pakaian nyaris "TELANJANG" serta mengumbar
aurat yang sangat tiidak patut dengan norma ketimuran, bahkan jika di
lihat dari sidut pandang etika moral ketimuran saja sudah sangat tidak
layak....Pakaian yang minim di tambah lenggak-lenggok serta aksi-aksi yg
terkadang tidak perlu sama sekali (sambil menyanyi sambil mendesah, apa
korelasinya coba), Apalagi jika kemudian Islam yg kita jadikan kacamata untuk melihatnya..
perhatikan apa yang rasul sampaikan berikut...
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya.” [TMQ An-Nur (24):31].
Yang di maksud “
wa laa yubdiina ziinatahunnaa” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah
"wa laa yubdiina mahalla ziinatahinnaa",
maksudnya janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh)
yang di situ dikenakan perhiasan. [Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul
Qur`an, Juz III hal.316].
Selanjutnya, kalimah “
illa maa zhahara minhaa”
[kecuali yang (biasa) nampak darinya], ini bermaksud, ada anggota
tubuh yang boleh dinampakkan iaitu wajah dan kedua telapak tangan.
Demikianlah pendapat sebahagian sahabat, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar
dan juga Aisyah [Al-Albani, 2001:66].
Ibnu Jarir
Ath-Thabari (wafat 310H) menjelaskan dalam kitab tafsirnya, Jami
Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII ms 84, mengenai apa yang di
maksud “
kecuali yang (biasa) nampak darinya (illaa maa zhahara minha)”,
katanya, pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang
mengatakan bahawa, yang dimaksudkan (dalam ayat di atas) adalah wajah
dan dua telapak tangan.
Pendapat yang sama dinyatakan
Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jamia li Ahkam Al-Qur’an, Juz
XII hal. 229 [Al-Albani, 2001:50 & 57]. Jadi, apa yang biasa
nampak darinya adalah wajah dan dua telapak tangan sebab kedua anggota
tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan Muslimah di hadapan Nabi
Sallalahu alaihi wa Sallam sedangkan
baginda mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam
ibadah-ibadah seperti haji dan solat dan biasa terlihat di masa
Rasulullah iaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an [An-Nabhani,
1990:45].
Dalil lain yang menunjukkan bahawasanya
seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan
ialah sabda Rasulullah kepada Asma’ binti Abu Bakar,
“
Wahai
Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidh)
maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini,
seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR Abu Dawud]
nah tentunya dari standar alquran dan apa yg di katakan rasul diatas,
kita sudah mafhum kenapa kemudian dari segi visual saja islam sudah
menentang keras terhadap orang-orang (penyanyi dengan mengumbar aurat)
tersebut...
dari segi psikologis tarbiyah tentunya hal-hal seperti ini sangat berbahaya bagi para generasi muda..
bahkan parahnya lg tidak hanya anak muda, bahkan anak kecil pun sudah sangat sering melihat aksi-aksi seperti ini.
Lantas bagaimana jika kita lihat dari segi Lirik?
Mari semua dansa denganku
Dekap aku dan hanyutkanku
Dengan irama yang menggoda
Melepaskan hasrat dirimu
Kamu inginkan aku
Peluk aku cium aku
Kamu inginkan aku
Ingin bercinta denganku
apakah
kita sadar lirik tersebut sarat dengan unsur zinah, lirikilirik mesum
yang secara psikologis mengajak para penikmat atau pendengarnya larut
dengan suasana tersebut, dan bukan tidak mungkin akan "Praktek"
Nantinya. NAUDZUBILLAH TSUMA NAUDZUBILLAH..
Jadi tidak benar atau
keliri kalau ada yang bilang ,musik hanyal;ah sekedar hiburan belaka
tanpa adanya paham atau ideologi yang di tawarkan.
Seorang filosof
besar semacam Frederich Nietsze (1844-1900) pun mengumandangkan betapa
bermakna nya musik dalam kehidupan ini. Nietszche mengatakan "Wothout
Music Life Would be A Mistake", Tanpa musik hidup ini akan menjadi
sebuah kekeliruan. Dan akan semakin keliru jika kemudian pesan-pesan yg
di samapaikan melalui musik "Meracuni" para penikmatnya.
adakalanya
kita-kita sering terlena dan tertipu dengan stempel hiburan yang
melekat pada musik yg kita dengar atau nikmati. Padahal, musik paling
jago menggiring opini publik ke arah sudut pandang penyanyi dan sang
pencipta lagu nya. kalo tidak "Smart", bisa-bisa kita terhipnotis dan
terbawa pesan dalam lagu yang kita dengar. Mending mengajak sekaligus
mendidik pendengar ke arah positif, lha kalo yang di suarakan serta aksi
yang di tampilkan ketika membawakannya adalah budaya-budaya jahiliah,
budaya liberal serta budaya sekuler yang minim edukasi atau propaganada
ideologi non Islam?...
BAHAYA...
Rasul pernah bersabda "Sesungguhnya di antara Bayan adalah sihir" (HR BUKHARI).
yang di maksud Bayan di sini adalah kemampuan komunikasi, atau kemampuan merangkai kata untuk menyampaikan maksud tertentu.
Makanya tidak jarang kita terhanyutdalam lagu-lagu yang kita dengarkan.
SO WHAT?
TIDAK BOLEHKAH KITA MENDENGARKAN MUSIK DAN BERSENI?
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah
generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik
atau bernyanyi.
Mungkin mereka berkiblat
kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang
bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai
Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan
teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana
hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda
Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi
sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset,
VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena
sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat
bertentangan dengan Islam.
Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah
iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (
fashl ad-din ‘an al-hayah) (
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,
Nizhâm Al-Islâm,
hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar
terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak
dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan
seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan
merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya
kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang
berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan
Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan
radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang
ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun
demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami
tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya
berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib
melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita
lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan
Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan
menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami
yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan
akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar
untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif
Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan
bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami
yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal
di kampus atau lingkungan kita.
Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita
akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan
untuk memahami fakta (
fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam
Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa
seni
adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang
dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat
ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni
lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (
instrumental art) adalah seni yang
berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat
musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen
musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni
musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia
(tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni
instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang
diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah
seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan
oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut
dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano,
dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes
simfoni, karawitan, dan sebagainya (
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan
pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada
dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu
sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum
memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih
beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak,
ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik
dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (
ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam
berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain
musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik
bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang
termasuk dalam masalah
khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (
Syaikh Abdurrahman al-Jaziri,
Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42;
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96;
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25;
Toha Yahya Omar,
Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam,
hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini
akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya.
Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan
pendapat penulis, tetap penulis hormati.
Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (
al-ghina’ /
at-taghanni).
Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan.
Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil
masing-masing, seperti diuraikan oleh
al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya
Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab
Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu juga oleh
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya
Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
“
Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan
Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka
itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (
Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud
lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya
al-Hasan,
al-Qurthubi,
Ibnu Abbas dan
Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah
Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan
Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (
Abi Bakar Jabir al-Jazairi,
Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“
Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [
HR. Bukhari,
Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“
Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [
HR. Ibnu Abi Dunya dan
Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“
Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [
HR. Ibnu Abi Dunya dan
al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“
Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua
syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada
dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [
HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“
Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu:
1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling
syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah
sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan
ratapan syetan (rannatus syaithan).”
Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
“
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu
melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui
batas.” (
Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami
mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya
terus berjalan sambil berkata; “
Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [
HR. Ibnu Abid Dunya dan
al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas
dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba
perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang
yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara
mereka berkata: “
Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“
Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [
HR. Bukhari, dalam
Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“
Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [
HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati
shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka
Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“
Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [
HR. Muslim, juz II, hal. 485].
Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (
ta’arudh)
satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat
kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk
menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan
dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana
salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua
hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang
lainnya hukum umum, atau salah satunya global (
ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (
tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi
nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (
Imam asy-Syaukani,
Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (
jama’)
di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang
nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang
memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan
tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini
Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “
Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (
Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah,
Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu
adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan).
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “
Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,
Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat
dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan
hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum
khusus, atau perkecualian (
takhsis), yaitu bolehnya nyanyian
pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’,
seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang
mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil
yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara
muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64;
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan.
Nyanyian haram
didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian
yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (
qaul), perbuatan (
fi’il), atau sarana (
asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat,
ikhtilath
(campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan
syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas,
mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya.
Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang
menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur
kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji
sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat
dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta,
dan semisalnya (
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65;
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (
at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (
sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum
af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (
at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum
af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah.
Af-‘âl jibiliyyah
adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan
manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki,
menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan
sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada
af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “
Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (
ibahah).
Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon,
batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan
dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah
boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan
melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu
melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan
jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa
saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara
binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja
di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu
aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar
ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita
mendengar seseorang mengatakan, “
Saya akan membunuh si Fulan!”
Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang
tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban
melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita
diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian
adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah
perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau
syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam
diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
“
Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah
kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu,
ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan
hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [
HR. Imam Muslim,
an-Nasa’i,
Abu Dawud dan
Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (
sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (
istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (
as-sama’) dengan mendengar-interaktif (
istima’). Mendengar nyanyian (
sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan
istima’ li al-ghina’,
adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa
interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada
dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian
sang penyanyi (
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (
sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (
istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian
serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian
tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (
istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada
ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
“
Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (
Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
“
…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (
Qs. al-An’âm [6]: 68).
Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano,
rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada
satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam
hadits, yaitu
ad-duff atau
al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“
Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [
HR. Ibnu Majah] (
Abi Bakar Jabir al-Jazairi,
Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52;
Toha Yahya Omar,
Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik
ad-duff /
al-ghirbal, maka
ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang
menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat
Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut
Syaikh Nashiruddin al-Albani
hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling,
gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli
hadits yang memandang shahih, seperti
Ibnu Shalah dalam
Muqaddimah ‘Ulumul Hadits,
Imam an-Nawawi dalam
Al-Irsyad,
Imam Ibnu Katsir dalam
Ikhtishar ‘Ulumul Hadits,
Imam Ibnu Hajar dalam
Taghliqul Ta’liq,
as-Sakhawy dalam
Fathul Mugits,
ash-Shan’ani dalam
Tanqihul Afkar dan
Taudlihul Afkar juga
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan
Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi
Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya
Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat
Ibnu Hazm dalam
Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah
Munqathi’ (
Syaikh Nashiruddin Al-Albani,
Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya
Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
“
Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang
sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian
dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau
boleh secara mutlak.” (
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah
hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka
pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada
dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan
vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR,
lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian
secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur
kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi
ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas,
hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan
semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung
sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah
mubah (
ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (
asy-yâ’)
—dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah
syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “
Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi
haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau
mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haram “
Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,
Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat
suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk
yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip
dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4
(empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh
sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (
khayr /
ma’ruf)
dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya,
mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau
menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang
kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur
tasyabuh bil-kuffar
(meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas
kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya,
mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan
sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita
tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang
pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau
asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau
asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para
shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat
adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur
tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung
maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah
mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan
nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi
‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan
nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (
waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (
infishal) tidak boleh
ikhtilat (campur baur).
Sehingga penulis pun mengambil kesimpulan, dan memberikan
solusi bagi para penimkmat musik, karena semangat Islam adalah hadir
dengan mengusung "memberi solusi" bagi kehidupan manusia bagi kehidupan
dunia maupun akhirat. Berikut ada sedikit Tips agar aktivitas
mendengarkan musik kita agar manfaat dan tidak menabrak ajaran Islam:
1.
Mendengarkan musik itu boleh, selamanya kadarnya cukup dan tidak
berlebihan. Ukuran berlebihan di sini ialah tidak melenakan dan tidak
melewati batas sehingga lupa dan lalai dari kewajiban kita mengingat
Allah SWT, Apalagi sampai meninggalkan kewajiban kita kepada Allah..
2.Batasan
yg lain ialah mengenai isi/lirik/materi lagu tersebut. Lagu yg boleh
untuk di dengarkan ialah lagu yang syair nya tidak bertentangan dengan
ajaran Islam seperti Akidah, Akhlak, dan Syariat. serta syair-syair yang
menjauhkan kita dari Allah SWT.
3.Yang selanjutnya
ialah bagaimana cara si penyanyi membawakan lagu tersebut, apakah mereka
membawakannya dengan pamer aurat, lenggak-lenggok, dengan memamerkan
sebagian atau keseluruhan anggota tubuhnya. Seperti Ngecor, Ngebor,
dll..kalau yg seperti ini jelas-jelas di LARANG.
4.yg
ke empat ialah yg perlu juga kita ingat dan hindari, nyanyian itu tidak
boleh di barengi dengan sesuatu yg haram, seperti minuman alkohol; atau
mendengarkn musik di kafe-kafe yg riskan akan minuman keras, aurat serta
ekslploitasi wanita.
Dan pesan terakhir, bagi ana
pribadi dan penikmat musik untuk selalu menyikapi apa yg kita dengar
dengan "CERDAS". Jangan sampai apa yg kita dengar malah menjauhkan kita
dari ajaran Islam itu sendiri. Mulai dari sekarang berani untuk
meninggalkan apa yang kita sukai jika memang bertentangan dengan ajaran
agama..