Masyarakat
Jazirah Arab sangat menjunjung tinggi budaya hafalan. Kemampuan mereka
dalam hal ini sangat mengagumkan. Demikian mengagumkannya
sampai-sampai "qulūbuhum mashāhifahum" (kalbu mereka adalah bagaikan
lembaran kertas), demikian Ka'ab al-Ahbar mengilustrasikannya. Di
kalangan mereka, seseorang yang memiliki kemampuan menghafal yang baik
akan diposisikan mulia.
Karena budaya hafalan ini,
ditambah dengan sulitnya mendapatkan alat tulis menulis, budaya menulis
dan membaca tidaklah dominan. Bagi beberapa kalangan, memiliki
kemampuan menulis dan membaca malah dianggap sebagai sebuah kekurangan,
bahkan aib! Karena itu, adalah keliru siapapun yang menilai bahwa
keadaan Nabi saw. yang "ummī" (tidak dapat membaca dan menulis) adalah
berarti adanya kekurangan pada diri beliau. Di zaman kita sekarang,
ketidakmampuan seseorang dalam membaca dan menulis memang sebuah
kekurangan, namun tidak demikian halnya di zaman itu.
Walaupun
demikian, itu tidak berarti bahwa budaya menulis dan membaca tidak
tumbuh sama sekali. Sejumlah kalangan masyarakat Arab tetap memiliki
kemampuan itu. Seorang peneliti, misalnya, menemukan sebuah manuskrip
tertulis yang berisi perjanjian utang piutang antara Hâsyim, kakek Nabi
saw., dengan mitra dagangnya. Lalu, di dinding Ka'bah, tergantung pula
al-mu'allaqât, yaitu puisi-puisi terbaik karya para penyair Mekkah.
Dua contoh itu menjadi bukti bahwa tetap ada sejumlah pihak di zaman
itu yang mementingkan tulis menulis walaupun, sekali lagi, budaya itu
tidak dominan.
Harus dicatat bahwa budaya hafalan ini
tidak selalu berarti buruk. Di kemudian hari, kemampuan menghafal
mereka yang mengagumkan ini memiliki peran sangat penting dalam
penjagaan dan pelestarian al-Qur'ân.
-------
Membaca Ulang Sirah Nabi saw. tentang "Ummī Bukanlah Suatu Kekurangan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar